ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PENGELOLAAN SAWAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL



ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PENGELOLAAN SAWAH DENGAN SISTEM BAGI HASIL
Muhammad Nur Rohim (210215131)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorgo
085735843855

ABSTRAK
Pertanian merupakan suatu identitas yang melekat pada masyarakat di Indonesia. Dalam perkembangannya banyak berbagai transaksi yang muncul dan berbagai model-model perjanjian. Namun dalam melakukan perjanjian tersebut masih terjadi akad yang tidak sesuai dengan prinsip perikatan syariah. Dengan metode anilis deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui akad pengelolaan sawah sesuai dengan prinsip syariah atau bagi hasil sesuai dengan prinsip Islam dan untuk mengetahui sistem bagi hasil yang disertai upah pada kerjasama pertanian dan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap sistem bagi hasil disertai upah pada kerjasama pertanian. diharapkan menjadi acuan para pihak yang berakad atau bekerjasama dengan sistem bagi hasil agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Keywords: Akad, Pengelolaan sawah, Prinsip syariah, Bagi hasil.

1.        PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris, negara yang subur lohjinawe dalam bahasa jawanya, karena dari tanahlah mereka dapat memenuhi kebutuhannya setiap hari. Tidak hayal bahwa masyarakat Indonesia banyak yang bercocok tanam atau menjadi petani. Karena ini merupakan suatu sumber mata pencaharian yang berkelanjutan (continue) dan menjanjikan kedepannya. Makanan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. beras dihasilkan dari pertanian lahan sawah. Tidak semua pemilik sawah mampu mengelola sawahnya sendiri. Dalam pengelolaan swahnya pemilik sawah dapat melibatkan penggarap sawah.
Dengan seiringnya perkembangan dunia dan teknologi (Globalisasi) maka berkembanglah pula dunia pertanian, dari pertanian tradisional menuju pertanian yang modern diikuti dengan berbagai macam akad / perjanjian yang muncul dalam pengelolaan sawah. Namun, tidak semua lapisan masyarkat menerapkan pertanian modern begitu pula sistem akad pengelolaan pertanian yang modern. Mereka menganggap bahwa terlalu rumit dalam birokrasi pengurusan pertanian dengan sistem modern, terlalu banyak hitungan, perkiraan, harus melakukan tindakan hukum yang benar dan bersinggungan dengan banyak pihak.
Dengan kondisi munculnya berbagai macam akad maka ini akan menimbulkan suatu masalah dalam akad syariah, ditunjukkan dengan masih ada akad yang tidak bersesuaian dengan prinsip syariah. Realita dalam lapangan yaitu sistem pengelolaan sawah, ladang ataupun lahan dengan menggunakan sistem ijon atau tebasan. Begitu pula dengan akad pengelolaan sawah selama setahun dengan menggunakan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang memepertemukan dua pihak berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. kerjasama ini memerlukan kesepakatan berupa ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas bagi hasil tersebut.
Pada dasarnya kajian ini akan berporos kepada prinsip syariah dan yang harus sesuai dengan teori-teori perikatan syariah, karena syariah merupakan suatu lebel yang mengarahkan umat Islam menuju konsep falah, agar akad yang dilakukan oleh petani (pihak-pihak) mencerminkan nilai syariah Islam yang luhur dan dianggap adil dan mensejahterakan. Sehinnga tidak terulangnya kasus meninggalnya petani karena dibunuh oleh teman taninya karena perselisihan dalam sistem pengairan sawah yang dianggap tidak adil oleh pihak yang membunuh. Miris sekali apabila terjadi kembali dalam sistem akad pertanian di masyarakata awam tidak secara syariah dan adil.[1]
Namun dampak dari akad yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bukan semata-mata kepada sesama (manusia) melainkan juga Hablumminallah hubungan ilahiyah dengan Allah. Oleh itu, kajian ini diharapkan dapat menjadi refleksi terhadap akad-akad pengelolaan pertanian yang selama ini bertentangan.

2.        PEMBAHASAN
2.1     Perikatan Syariah
Hukum tentu sangat terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam hubungan sosial masyarakat, dimensi hukum secara umum dapat dipahami sebagai kaidah atau norma yang merupakan petunjuk hidup dan pedoman perilaku yang pantas atau diharapkan dalam mewujudkan hubungan yang harmoni antar masyarakat. Disini hukum bermaksud mengatur tata tertib masyarakat.
Dalam hal ini, hubungan masyarakat desa yang cenderung bermata pencaharian dalam bidang pertanian atau sawah. Oleh itu pastilah dalam penggarapan sawah masyarakat menggunakan hukum, yaitu hukum adat atau bagihasil degan menggunakan adat mereka masing-masing.
Dengan demikian maka secara etis kita harus mengetahui komponen dari suatu perikatan atau kontrak syariah.[2] Yang dipaparkan  sebagai berikut.
2.1.1    Pengertian Hukum Kontrak Syariah
Kontrak dalam Islam disebut akad atau perjanjian. Akad berasal dari Bahasa Arab yang berarti ikatan, simpulan, atau permufakatan (al-ittifaq). Jadi dapat digaris bawahi kontrak merupakan ikatan antara pihak satu dengan pihak lain untuk melakukan hubungan kerjasama dalam berbagai bidang muamalah.[3]
Kontrak syariah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara kedua belah pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.[4]
Dalam tradisi hukum Islam, kedudukan kata sepakat terhadap suatu kontrak sangat dijunjungtinggi, yang berarti prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat) sangat dihormati dalam hukum Syara’. Hal ini disandarkan pada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1, yang artinya:”Hai orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.[5] Dalam hukum Islam, salah satu prinsip dasar dari transaksi bisnis adalah bahwa suatu transaksi bisnis haruslah dilakukan secara benar dan tidak saling merugikan orang lain.
Perikatan merupakan hubungna hukum yang sifatnya statis, sementara perjanjian adalah hubungan hukum yang ifatnya dinamis. Atau dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, perikatan merupakan suatu pengertian tersebut dapat dipahami bahwa, perikatan merupakan suatu penegertian yang abstrak dari hubungan hukum, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa hukum yang nyata.

2.1.2   Rukun dan Syarat Kontrak Syariah
Untuk menentukan atau menilai keabsahan kontrak yang dituangkan dalam perjanjian standar harus dikaji bagaimana hukum kontrak mengatur syarat-syarat keabsahan kontrak. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian,[6] yakni:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3. Harus ada suatu hal tertentu
4. Harus ada sebab (causa) yang halal.
Para Ulama Fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Adapun syarat-syarat umum suatu akad itu adalah:[7]
1.   Ijab dan qabul haruslah dilakukan oleh seorang yang mewakili kecakapan berbuat. Dalam hal ini orang tersebut waras, cukup umur (mencapai umur tamyiz) dan tidak boros.
2.   Ijab qabul harus tertuju kepasa objek tertentu.
3.   Ijab qabul harus dilakukan oleh kedua belah pihak dalam kontrak atau jika salah pihak tidak hadir, maka dapat ditujukan kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga menyampaikannya kepada pihak yang tidak hadir, dan pihak yang tidak hadir menyatakan qabulnya.
4.   Akad tidak dilarang oleh nash syara’
5.   Memenuhi syarat-syarat khusus bagi akad tertentu.
6.   Akad itu bermanfaat.
7.   Ijab harus tetap shahih sampai saat dilakukan qabul. Artinya tidak sah akad jika sebelum kabul dilakukan telah terjadi pembatalan ijab, atau pelaku ijab telah gila atau meninggal dunia.
8.   Ijab qabul dilakukan dalam satu mejelis, yakni dengan tatap muka atau kabul tunda. Akan tetapi, menurut mazdhab syafi’i kabul harus segera diucapakan setelah akad dan tidak boleh ditunda.
9.   Tujuan akad harus jelas diakui oleh syara’. Misalnya, akad nikah bertujuan antara lain untuk menghalalkan hubungan suami istri, karena akad semu dilarang.

2.1.3    Asas-Asas Kontrak Syariah
Sebagaimana dalam hukum perjanjian menurut KUHPerdata yang mengenal asas kebebasan berkontrak, asas personalitas dan asas itikad baik, sedangkandalam hukum adat mengenal asas terlarang, tunai dan riil. Dalam konteks hukum Islam juga mengenal asas-asas hukum perjanjian.[8] Adapun asas-asas itu adalah seebagai berikut:[9]
a.    Asas kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Asas ini berangkat dari kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itudibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.  Kebolehan ni dibatasi sampai ada dasar hukum melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal akad pertanian maka seyogyanya pasti menggunakan asas ini. Maka setiap transaksi dalam pertanian boleh-boleh saja apabila sesuai dengan prinsip syariah, dan tidak terjadi paksaan dan tindakan curang dalam berakad.
b.   Asas kejujuran dan kebenaran (ash-Shidiq)
Bahwa dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan penipuan, karena dengan adanya penipuan/kebohongan sangat berpengaruh dalam keabsahan perjanjian akad.perjanjian yang didalamnya mengandung unsur kebohongan dan penipuan, memberikan hak kepada pihak lain unutk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.
Dasar hukum mengenai asas ash-Shidiq, dapat kita baca dalam al-Quran Surat al-Ahzab ayat 70, yang artinya adalah sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar
Bahwa setiap muslim wajib untuk berkata-kata yang benar, lebih-lebih dalam hal melakukan perjanjian khususnya dalam bidang pertanian yang menyangkut dengan pihak lain, sehingga faktor kepercayaan (trust) menjadi suatu esensial demi terlaksananya suatu perjanjian atau akad.
c.    Asas tertulis (al-Kitabah)[10]
Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan demi kepentingan pembuktian jika dikemusdian hari terjadi sengketa. Dlaam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 282-283 mengisyaratkan agar akad yag dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak. Bahkan juga di dalam pembuatan perjanjian hendaknya juga disertai dengan saksi-saksi (syahadah), dan prinsip tanggung jawab individu.[11]
2.2     Adat Istiadat (‘Urf)
'Urf disebut puladengan al-'adah., artinya kebiasaan. hanya saja, di dalam 'urf ada yang berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash al-Quran dan hadits yang sahih, sedangkan dalam adat ada kebiasaan yang sahihdan ada pula yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya oleh al-Quran dan as-Sunnah.[12]
Menurut Rachmat Syafi'i dalam hukum Islam, adat disebut juga dengan istilah 'urf yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbutan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. setiap adat atau  'urf akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya, sehingga 'urf tidak lagi berlaku universal, bukan hanya lokal, bahjan 'urf sifatnya parsial. berlaku di desa tertentu, tetapi bertentangan dengan desa lainnya.
Dalam hukum Islam, adat itu dibagi dua, yaitu:
a.         Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentngan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.Tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan apabila dilaksanakan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.
b.        Adat Fasidah, yakni adat yang rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari al-Quran dan as-sunnah, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan undang-undang yang berlaku.
sehingga berijtihad dapat dilakukan dengan metode 'urf atau adat terutapa apabila adat yang berlaku secara normatif tidak bertentangan dengan syariat yang telah berlaku.

2.3     Sistem Kerja Sama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Perjanjian bagi hasil dalam kontek masyarakat Indonesia sudah dikenal,yakni dalam hukum adat. Akan tetapibagi hasil dalam hukum Adat adalah bagi hasil yang menyangkut pengelolaan tanah pertania. Bagihasil adalah perjanjian pengelolaan tanah, dengan upah sebagia dari hasil yang diperoleh dari pengelolaan sawah.[13]
Konsep perjanjianbagi hasil pengelolaan tanah yang pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960tentang bagi hasil tanah pertanian. Dalam ketentuan pasal 1 mengemukakan:[14]
"Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seorang atau badan hukum pada pihak lain-yang dalam Undang-Undang ini disebut "Penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak ".
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah perjanjian pengelolaan taah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengelolaan tanah itu.
Kerja sama bagi hasil dilaksanakan dengan di dahului dengan sebuah perjanjian, sehingga harusmemenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Menurut jumhur ulama ada empat rukun yag harus dipenuhi, agar akad tersbut menjadi sah:[15]
a.       Pemilik lahan atau tanah
b.      Petani/Penggarap
c.       Obyek (antara manfaat lahan dan hasil kerja petani)
d.      Ijab dan qabul, secara sederhana cukup secara lisan
Rukun dalam akad bagi hasil pertanian menurut hanafiyah adalah ijab dan qabul, yaiut berupa pernyataan pemilik tanah, "saya serahkan tanah ini kepada anda untuk digarap dengan imbalan separuh dari hasilnya", dan pernyataan penggarap "saya terima atau saya setuju".
Dapat diketahui pula syarat yang harus ada dalam perikatan atau akad dalam pertanian[16]
a.       Pihak yang berakad harus berakal dan baligh
Syarat tersebut mensyaratkan pula bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik tanah) bukanlah orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, yakni tidak mempunyai efekhukum hingga ia masuk Islam kembali. Akntetapi jumhur ulama membolehkan akad ini dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk didalamnya orang murtad.
b.      Benih
Benih yang ditanam harus jelasjenis buah dan atau tanaman yang akanditanam dan dapat menghasilkan. Syarat yang berlakuuntuk tanaman adalah harus jelas (diketahu). Dalam hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam. Namun dilihat dari istihsan, menjelaskan sesuatu yang akan ditanam tidak menjadi syarat karena apa yang akan ditanam diserahkan separuhya kepada penggarap.
c.       Pembagian hasil panen
pada masing-masing pihak harus jelas dan ditentukan di awal akad, harus benar-benar milik bersama orang yang berakad tan pa ada pegkhuhusan, tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak antara kedua belah pihak, an ditentukan pada setengah, sepertiga, atau seperempat yang ditentukan pada awal terjadinya akad.
d.      Tanah yang diolah jelas sifatnya
Sifat tanahnya harus baik unutk diolah dan dapat menghasilkan,dan diserahkan sepenuhnya kepada pihak pengelola untuk diolah.
e.       Objek akad harus jelas
Dalam hal ini baik berupa pemanfaatan jasa pengelola dimana benih berasal dari pihak pengelola maupun pemanfaatannya tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah.
f.       Jangka waktu pengolahan harusjelas
Jadi saad melakukan akad jangka waktu pengelolaan harus lah jelas, dan penentuannya terjadi pada akad dilaksanakan. sebagai pengingat antara pihak satu dan pihak yang lain.
Apabila rukun dan syarat perjanjian bagi hasil telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dilaksanakan denga iktikad baik, pernjian yang dibuat secara sah mengikat sbagai undnag-undang bagi pihak-pihak yang melakukan akad.[17]
Sifat akad dalam pertanian ini menurut Hanafiah, sama dengan akad syirkah yang lain, yaitu termasuk ghair lazim (tidak mengikat). Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit, maka akad menjadi lazim. Akan tetapi, menurut pendapat yang mu'tamad dikalangan malikiyah, semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan terjadinya ijab dan qobul. Sedangkan menurut Hanabilah, akad ini merupakan akad ghair lazim, yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak, dan batal karena meninggalnya salah satu pihak.

2.4     Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Kerjasama dalam usaha pertanian ada berbagai macam istilah, diantaranya yaitu muzara'ah, mukhabarah dan musaqah. Dalam fikih terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaan tanah: 1) akad yang berkaitan dengan pengelolaan /pemanfaatan tanah dan 2) akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya  berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara'ah: dan 2) akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal dari penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan penyiraman) tanaman disebut musaqah.[18]

2.5     Etika Bisnis dalam Islam
Etika bisnis dalam Islam adalah tata cara berperilaku atau bertingkah yang sesuai dengan prinsip Islam dalam melakukan suatu bisnis Islam. Dalam hal ini yang berkaitan dengan perjanjian pertaniaan adalah trust kepercayaan antar pihak yang biasanya dalam melakukan perjanjian merasa saling percaya bahkan bisa pula tidak saling percaya.[19]
 Maka itu kita dapat mencontoh seorang Nabi agung Muhammad SAW. Karena kepercayaan akan menjadi modal berharga dalam kitamemuali suatu bisnis dan akad antara sesama pihak.
Sebelum bangkit untuk menerima risalah Islam, Muhammad SAW telah memiliki suatu modal yang besar dalam dirinya, yaitu kepercayaan yang datang dari masyarakat. Sehingga ajaran Islam tumbuh berkembang secara luas, walaupun Rasulullah SAW adalah seorang yang dapat dipercaya telah tercantum dalam al-Quran, dengan adanya enam ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang utusan yang amin. Kalimat “Inni lakum Rasulun Aminn” dalam al-Quran diulang sebanyak enam kali dalam surat ash-Syu’ara, tepatnya pada ayat ke-107, 125, 143, 126 dan 178. Kmudian dalam surat ad-Dhukan kalimat yang sama juga disebutkan pada ayat ke-18.[20]
Oleh ituakad-akad yang diterapkan dalam kerjasama pertanian haruslah dilandasi dengan saling kepercayaan antara kedua belah pihak.hal ini diharapkan guna untuk menjamin keberlangsuga hubungan kontrak yang baik dan kaffah.

2.6     Analisis Kajian Hukum Islam Terhadp Akad Pertanian (Bagi Hasil)
2.6.1   Akad dalam Pertanian
Bagi masyarakat adat yang terpenting dalam pelaksanaan bagi hasil bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (mufakat)
Pada praktiknya masyarakat desa mengerjakan tanah milik orang lain dengan menggunakan bagi hasil, hanya mendasarkan persetujuan antara pemilik tanah dan penggarap secara lisan atas dasar kepercayaan (trust). tidak sedikit masyarakat desa dalam melakukan pertanian untuk mengelola lahannya dengan menggunakan sistem parohan dengan pembagian bagi hasil antara pemilik lahan dengan petani penggarap sesuai dengan penghasilan yang didapatkan.
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pengamatan penulis di lapangan atau di praktek akad penggarapan sawah di desa (adat) dapat diambil kesimpulan bahwa, pihak-pihak yang mengadakan akad bagi hasil tidak ada yang menggunakan dengan cara tertulis, akan tetapi kebanyakan cukup dengan lidan dang langsung disertai serah terima tindakan, tidak ada yang tertulis. Syukur-syukur dengan ucapan “ini lahannya tolong dikelola dengan baik dan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah kita buat dan atau adat kebiasaan yang terjadi di masyarakat desa”.
Setelah kedua belah pihak sudah sepakat melakukan kerja sama bagi hasil makapetani penggarap mengatakan bersia dengan cara langsung mengelola lahan tersebut. Dengan tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang melakukan akad berarti perjanjian tersebut sudah tercipta pada saat tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam bagi hasil di msyarakat desa adat ini yang menjadi landasan lahirnya dan diadakan perjanjian bagi hasuil.

2.6.2    Bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di desa atau hukum adat dilaksanakan secara tidak tertulis atau cukup dengan lisan antara kedua belah pihak, dengan beberapa alasan yang mendasarinya berikut:
a.       Mudah pelaksanaannya dan tidak berbelit-belit
b.      Adanya saling percaya (trust)
Menurut konsep Islam, bentuk perjajian bagi hasil pertanian ii tidak harus dega hitam diatas putih, yakni dengan secara tertulis. akan tetapi, menurut jumhur ulama dengan melakukan ijab dan qabul sudah memenuhi rukunnya, baik qabul tersebut berupa ucapan langsung dengan tindakan. dalam hal ini bentuk perjanjian ini, masyarakat desa tidak menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Islam.
Mengenai pedoman yang dirujuk dalam melakukan kerjasama bagi hasil, masyarakat tidak mengacu pada Undnag-undang tidak juga mengacu pada konsep Islam akan tetapi dalam praktiknya mempunyai prinsip saling menguntungkan, seperti halnya yang dalam penelitian, pihak pemilik sawah bisa mengambil keuntungan dari hasil pertanian tersebut, pihak penggarap juga ada keuntungan karena mempunyai lahan yang bisa dikerjakan. berdasarkan ayat al-Quran: wata'awanu 'alal birri wattaqwa walaa ta'awanu 'alal istmi wal'udwaan.
Apabila diantara kedua belah pihak sudah sepakat melakukan kerja sama, maka dalam masalah pengelolaan lahan tersebut adalah murni 100% dari pihak penggarap atau bisa juga parohan. Jadi semuanya akan diserahkan sepenuhnya atau dikelola sepenuhnya dan bisa jugadikelola bersama sesauai dengan akad. Dalam hal ini, praktik yang dilakukan oleh masyarakat desa sesuai dengan konsep Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa taah yang sudah diserahkan kepada pihakpenggarap maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak penggarap  atau kedua belah pihak.
berdasarkan dari teori dan jika dibandingkan dengan realita dalam lapangan maka adanya ketidaksesuaian antara realita perjanjian bagi hasil dengan teori yang dijelaskan menurut Islam. Dimana dalam Islam dijelaskan masa berlaku akad bagi hasil dalm pertanian disyaratkan harus jelas dan ditentukan atau diketahui ketika awal akad. Sedangkan adat masyarakat tidak demikian, kebiasaan masyarakat tidak menyebutkan berapa lama waktu yang akan diperjanjikan ketika di awal akad, hal ini mengandung unsur Gharar sedangkan gharar juga dilarang dalam Islam. 'Urf tersebut sudh melekat di masyarakat, akan tetapi 'urf yang terjadi ini merupakan 'urf fasidah karena bertentangan dengan nash yang ada. sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hukum.
Umumnya masyarakat menerapkan sistem perjanjian bagi hasil berdasarkan hukum adat setempat (kebiasaan setempat secara turun menurun). Ada banyak kendala yang muncul mengapa peraturan dan konsep Islam bagi masyarakat desa tidak bisa diterapkan atau tidak dapat terlaksana dengan baik dlaam pelaksanaan perjanjian bagi hasil karena:
a.       Kebanyakan masyarakat desa tidak mengetahui adanya konsep Islam yang mengatur transaksi bagihasil dalam sistem pertanian. Hal ini terjadi karena kurangnya memperhatikan kajian-kajian Islam yang membahas tentang perjanjian bagi hasil, termasuk kurangnya arahan dari tokoh agama yang lebih mengetahui tentang bagi hasil dalam pertanian.
b.      faktor adat dan budaya yang sangat melekat pada diri masing-masing masyarakat desa yang masih mempercayai penggunaan adat kebiasaan secara turun temurun yang biasa dilakukan dalam praktik perjanjian bagi hasil.

3.        KESIMPULAN
Dari analisis yang penulis uraikan dapat disimpulkan bahwa, dalam melakukan suatu perjanjian maka harus memperhatikan syarat serta rukun yang ada dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pertanian kedua belah pihak yang berakad harus menentukan bagian masing-masing di awal akad dengan pasti supaya tidak merugikan salah satu pihak. Karena berakad sesuai dengan prinsip syariah atau konsep Islam akan memberikan dapak tersendiri bagi para pelaku usaha yang berserikat. karena dalam kontrak atau perikatan dalam Islam tidak memepermasalahkan dalam bidang duniawi saja namun juga hablum minallah, hubungan dengan Allah yang selalu mengawasikita dimanapun kita berada, jika sesuai dengan prinsip syariah maka Allah juga akan memberikan suatu berkah tersendiri. Maka lakukanlah kontrak dengan baik sesuai prinsip syariah/Islam.


















DAFTAR PUSTAKA

Alif, Muhammad. “Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undnag-Undnag Nomor 2 Tahun 1960 Di Kecamatan Soyo Jaya Kabupaten Morowali”. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion. Edisi 2, Vol. 3, 2015.
Ghofur Anshori, Abdul. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia Konsep Regulasi dan Implemetasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Hamidah, Iin. “Kesesuaian Konsep Islam Dalam Praktik Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulin Kecamaatn Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur”. Skripsi. Jakarta: UIN Syarih Hidayatullah, 2014.
Hidayati, Tutik. “Sistem Tebasan Padi Di Desa Selogudig Wetan Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo”. Skripsi. Jember: Universitas Negeri Jember, 2014.
Marsudi, Edy. ”Identifikasisistem Kerjasama Petni Penggarap dan Pemilik Tanah Dalam Kaitannya Dengan Pemerataan Pendapatan Petani Padi Sawah Beririgrasi, Kabupaten Aceh Besar”. Jurnal Agrisep. Vol. 12, No. 1, 2011.
Muhman Hariri, Wawan. Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
Nasution, Zubaidah. “Model Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian”. Jurnal Dinar Ekonomi Syariah. Vol. 1, No. 1, 2016.
Pangabean, R.M. "Keabsahan Perjanjian Dengan Klausul Baku". Jurnal Hukum. Vol. 17, No. 4, 2010.
Priyadi, Unggul dan Jannar Saddam Ash Shidiqie. “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Lahan Sawah  Studi Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta”. Jurnal Millah. Vol. 15, No. 1, 2015.
Raja Damitu, Emanuel. “Perbandingan Asas Perjanjian dalam Hukum Perikatan Syariah”.  Jurnal Repertorium. Vol. 1, 2014.
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
S Pradja, Juhaya.  Ekonomi Syariah. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Santoso Az, Lukman. Hukum Perikatan Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak Kerjasama dan Bisnis. Malang: Setara Press, 2016.
Septiyan Primada, Beny. “Tinjauan Mekanisme Kontrak Pengelolaan Lahan Pertanian Berbasis Adat Istiadat Dalam Kajian Fiqih Muamalah Desa Temu Kecamatan Kanor kabupaten Bojonegoro”. Jurnal JESTT. Vol. 2, No. 11, 2015.
Timorita Yulianti, Rahmati.”Asas-Asas Perjanjian”. Jurnal Ekonomi Islam. Vol. 2, No. 1, 2008.
Yunia Fauzia, Ika. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.



[1] Edy Marsudi, ”Identifikasisistem Kerjasama Petni Penggarap dan Pemilik Tanah Dalam Kaitannya Dengan Pemerataan Pendapatan Petani Padi Sawah Beririgrasi, Kabupaten Aceh Besar”, Jurnal Agrisep, Vol. 12, No. 1, (2011), 8.
[2] Juhaya S Pradja, Ekonomi Syariah (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 80.
[3] Wawan Muhman Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 244.
[4] Lukman Santoso Az, Hukum Perikatan Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak Kerjasama dan Bisnis (Malang: Setara Press, 2016), 47.
[5] Ibid., 49.
[6] R.M. Pangabean, "Keabsahan Perjanjian Dengan Klausul Baku", Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 4, (2010), 654.
[7]Santoso, Perikatan, 53.
[8] Rahmati Timorita Yulianti, ”Asas-Asas Perjanjian”, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 2, No. 1, (2008), 96.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia Konsep Regulasi dan Implemetasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 32.
[10] Emanuel Raja Damitu, “Perbandingan Asas Perjanjian dalam Hukum Perikatan Syariah”, Jurnal Repertorium, Vol. 1, (2014), 62.
[11] Ibid., 34.
[12] Beny Septiyan Primada, “Tinjauan Mekanisme Kontrak Pengelolaan Lahan Pertanian Berbasis Adat Istiadat Dalam Kajian Fiqih Muamalah Desa Temu Kecamatan Kanor kabupaten Bojonegoro”, Jurnal JESTT, Vol. 2, No. 11, (2015), 18.
[13] Tutik Hidayati, “Sistem Tebasan Padi Di Desa Selogudig Wetan Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo”, Skripsi (Jember: Universitas Negeri Jember, 2014), 38.
[14] Muhammad Alif, “Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undnag-Undnag Nomor 2 Tahun 1960 Di Kecamatan Soyo Jaya Kabupaten Morowali”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 2, Vol. 3, (2015), 2.
[15] Iin Hamidah, “Kesesuaian Konsep Islam Dalam Praktik Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulin Kecamaatn Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur”, Skripsi (Jakarta: UIN Syarih Hidayatullah, 2014), 46.
[16] Unggul Priyadi dan Jannar Saddam Ash Shidiqie, “Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Lahan Sawah  Studi Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta”, Jurnal Millah, Vol. 15, No. 1, (2015), 112.
[17] Zubaidah Nasution, “Model Pembiayaan Syariah Untuk Sektor Pertanian”, Jurnal Dinar Ekonomi Syariah, Vol. 1, No. 1, (2016), 7.
[18] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah Prinsip dan Implementasinya Pada Sektor Keuangan Syariah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), 218.
[19] Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 18.
[20] Ibid., 19.

Comments

Popular Posts