NORMA DAN ETIKA DALAM PEMASARAN, PRODUKSI, MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN FINANSIAL
NORMA DAN ETIKA DALAM PEMASARAN, PRODUKSI,
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN FINANSIAL
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan dalam dunia bisnis kurun terakhir ini terlihat sangat
maju dan tertata dengan baik. Produksi digenjot unutk menghasilkan produk yang
bevarian dan banyak, dalam hal pemasaran pun juga di dorong untuk memberikan
kreatifitas guna melariskan barang dagangan. Ini semua diharapkan untuk
memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha dan bagai konsumen (timbal balik).
Dalam pemaparan diatas maka pera subjek usaha tentunya tidak
memikirkan dari segi profitnya saja, mereka juga harus membuat bisnis mereka
terkesan dan menjadi idaman di hati konsumen yaitu dengan cara bertika dalam
melakukan produksi, pemasaran atau distribusi.
Tidak terfokus dalam produksi dan distribusi saja, namun juga
keterlibatan konsumen harus juga difikirkan, karena merekalah yang akan
menialai produk dari produsen. Hal ini akan berdampak saling menguntungkan
antara kedua belah pihak, produsen mendapatkan provit dan kritik yang membangun
sedangkan konsumen mendapat produk dan privasi konsumen tetap terjaga dengan
aman.
B.
Pokok Masalah
1.
Pasar
dan Perlindungan Konsumen
2.
Etika
Iklan
3.
Multimedia
Etika Bisnis
4.
Etika
Produksi
5.
Pemanfaatan
SDM
6.
Etika
Kerja
7.
Hak-Hak
Pekerja
8.
Hubungan
Saling Menguntungkan
9.
Persepakatan
Penggunaan Dana
PEMBAHASAN
A.
Pasar dan Perlindungan Konsumen
Pasar secara sederhana merupakan tempat pertemuan antara penjual
dan pembeli untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Adapaun pasar
menurut kajian Ilmu Ekonomi memiliki pengertian, pasar merupakan suatu tempat
atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari
suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirya dapat menetapkan harga
keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan.[1]
Hal kecurangan yang biasa terjadi di pasar adalah kecurangan dalam
hal takaran dan timbangan. Allah Swt. telah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa
orang-orang yang melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan
mendapatkan kebinasaan karena dianggap sebagai orang yang melupakan hari
pembalasan di akhirat yang pada saat itu manudia menghadap-Nya untuk
bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Dalam Q. S. al-Mutaffifin, Allah
berfirman :
Artinya
:
“1. Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (Yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. Dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4. Tidaklah
orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. Pada
suatu hari yang besar, 6. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam?”
Kejujuran
dalam perdagangan dapat diwujudkan. Misalnya, pedagang harus mengatakan dengan
jujur bahwa barang yang dijualnya berkualitas baik tanpa ada campuran dengan
barang kualitas buruk. Pedagang juga harus jujur dalam menakar, mengukur, dan
menimbang.[2]
Banyak orang yang percaya bahwa konsumen secara otomatis
terlindungi dari kerugian dengan adanya pasar yang bebas dan kompetitif dan
bahwa pemerintah atau para pelaku bisnis tidak mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk menghadapi masalah ini. Pasar bebas mendukung alokasi,
penggunaan, dan distribusi barang-barang yang dalam artian tertentu, adil,
menghargai hak, dan memiliki nilai kegunaan maksimum bagi orang-orang yang
berpartisipasi dalam pasar. Lebih jauh lagi, di pasar seperti ini, konsumen
dikatakan “berdaulat penuh”. Saat konsumen menginginkan dan bersedia membayar
untuk satu produk, para penjual memperoleh insentif untuk memenuhi keginginan
mereka.
Dalam Islam, pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal,
karena secara teoritis maupun praktis, Islam menciptakan suatu keadaan pasar
yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana bersaing.
Artinya, konsep pasar dalam Islam adalah pasar yang ditumbuhu nilai-nilai
syariah seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan persaingan sehat yang
merupakan nilai-nilai universal, bukan hanya untuk Muslim tetapi juga
non-Muslim.[3]
Dengan memerhatikan kriteria pasar Islami tersebut maka dapat
disimpulakan bahwa pasar Islami itu dibangun atas dasar terjaminnya persaingan
yang sehat yang dibingkai dalam nilai dan moralitas Islam. Dalam kegiatan
bsisnis, konsumenlah yang memiliki dampak terbanyak, oleh sebab itu maka untuk
menciptakan keamanan dalam bisnis, maka sangat diperlukanlah pengawasan
perlindungan konsumen.
Terdapat dua pengawasan perlindungan konsumen dalam Islam, yaiu
sanksi religi berupa halal, haram, dosa dan pahala, dan sanksi hukum positif Islam
dengan segala perangkatnya, seperti dewan hisbah dan peradilan.[4]
Untuk melindungi para konsumen, maka dalam fikih Islam dikenal
beberapa perangkat istilah hukum, seperti pelarangan ba’i al-gharar
(jual beli mengandung tipuan), pemberlakuan hak khiyar (hak untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi karena sebuah alasan yang diterima),
beberapa hal yang merusak kebebasan transaksi seperti adanya al-ghalt
(tidak adanya persesuaian dalam hal jenis atau sifat barang) dan al-ghubn
(adanya tipuan yang disengaja) dan masih banyak lagi lainnya.[5]
Selain dalam fikih Islam, diperlukan juga adanya campur tangan
negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan
dengan hal itu telah disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan Pasal 2 UUPK ditentukan bahwa perlindungan
konsumen berasaskan: manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan
konsumen serta kepastian hukum.[6]
Ada juga tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen, yaitu :
1.
Kualitas
produk
Maksudnya adalah produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh
produsen (melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang secara wajar boleh
diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena
ia membayar untuk itu.
2.
Harga
Harga bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua pihak yang
terlibat dalam proses pembentukannya.
3.
Pengemasan
dan pemberian halal
Pengemasan produk dan labek yang ditempelkan pada produk merupakan
aspek bisnis yang semakin penting. Selain bertujuab melindungi produk dan
memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk
mempromosikan produk, terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dan
label dapat menimbulkan juga masalah etis.
B.
Etika Iklan
Kata
iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani. Adapun penegertian iklan
secara komprehensif adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan
mempromosikan ide, barang, atau jasa secara personal yang dibayar oleh sponsor
tertentu.
Sedangkan
menurut Etika pengertian iklan adalah pesan komunikasi pemasaran atau
komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu
media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian
atau seluruh masyarakat.[7]
Iklan
adalah sarana promosi yang digunakan oleh perusahaan guna untuk
menginformasikan, segala sesuatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan.
Informasi yang diberikan adalah nama produk, harga produk, serta
keuntungan-keuntungan produk dibandingkan produk sejenis yang ditawarkan oleh
pesaing.[8]
Ciri-ciri
iklan yang baik, antara lain sebagai berikut.
1.
Etis : berkaitan
dengan kepantasan.
2.
Estetis : berkaitan
dengan kelayakan.
3.
Artistik :
bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
Berikut
ini adalah tata karma periklanan yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia
(EPI). Diatur berdasarkan isi iklan dan ragam iklan.
1.
Hak Cipta.
Penggunaan, penyebaran, penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi
atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin
tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2.
Bahasa. Iklan
harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan
tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan
penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut.
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor
satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama,
tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan
dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
3.
Tanda Asteris
(*). Tanda pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk
menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang
kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun
tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Tanda asteris pada iklan di media
cetak hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber
dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4.
Penggunaan Kata ”Satu-satunya”.
Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama,
tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang
satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5.
Pemakaian Kata
“Gratis”. Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh
dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain.
Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan
jelas.
6.
Pencantum Harga.
Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan
dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan
harga tersebut.
7.
Garansi. Jika
suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka
dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
8.
Janji
Pengembalian Uang (warranty). Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian
uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan
konsumen, maka:
a.
Syarat-syarat
pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara
lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya
pengembalian uang.
b.
Pengiklan wajib
mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9.
Rasa Takut dan
Takhayul. Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun
memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10.
Kekerasan. Iklan
tidak boleh langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang
merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11.
Keselamatan.
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan,
utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
12.
Perlindungan
Hak-hak Pribadi. Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa
terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam
penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagailatar, sepanjang
penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.
13.
Hiperbolisasi boleh
dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau
humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak
menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14.
Waktu Tenggang (elapse
time). Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk
dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu
tersebut.
15.
Penampilan
Pangan. Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan
yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
16.
Penampilan Uang.
Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan
norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun
pelecehan yang berlebihan.
17.
Kesaksian
Konsumen (testimony). Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama
perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benarbenar dialami, tanpa
maksud untuk melebih-lebihkannya.
18.
Anjuran (endorsement).
Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan
mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19.
Perbandingan.
Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan
waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset
tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi.
20.
Perbandingan
Harga. Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan
produk, dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
21.
Merendahkan.
Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak
langsung.
22.
Peniruan. Iklan
tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga
dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan
khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita,
setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk
model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi
huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut
khas lain, dan properti.
23.
Istilah Ilmiah
dan Statistik. Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan
statistic untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24.
Ketiadaan Produk.
Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya
produk yang diiklankan tersebut.
25.
Ketaktersediaan
Hadiah. Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau
kata-kata lain yang bermakna sama.
26.
Pornografi dan
Pornoaksi. Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan
cara apa pun, dan untuk tujuan/alasan apa pun.
27.
Khalayak Anak-anak.
Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak
anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang
tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata
“Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.
Terdapat
paling kurang 3 (tiga) prinsip moral, sehubungan dengan penggagasan mengenai
etika dalam iklan. Ketiga prinsip itu adalah :
1.
Prinsip
Kejujuran
Prinsip
kejujuran berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali
dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan
barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan
menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan disini adalah bahwa isi iklan
yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya
dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai
konsekuensi logis adalah upaya manipulasi dengan motif apapun juga.
2.
Prinsip
Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi
semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutan imperatif (imperative
requirement).
Iklan semestinya menghormati hak dan tanggungjawab setiap orang
dalam memilih secara bertanggungjawab barang dan jasa yang ia butuhkan, ini
berhubungan dengan dimensi jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa
memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarakat,
dan lain-lain.
3.
Iklan
dan Tanggung Jawab Sosial
Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang
tidak etis. Ada 2 (dua) cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :
a.
Subliminal
advertising.
Maksudnya
adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu
cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi, tinggal dibawah ambang
kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.
b.
Iklan
yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, karena anak mudah
dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak
bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai
tidak etis.[9]
C.
Privasi Konsumen
Adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan
untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan atau
kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan
dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak
pihak lain dalam rangka menyepi saja.
D.
Multimedia Etika Bisnis
Pada awalnya
multimedia hanya mencakup media yang menjadi konsumsi indra penglihatan (gambar
diam, teks, gambar gerak video, dan gambar gerak rekaan/animasi), dan konsumsi
indra pendengaran (suara). Pengertian multimedia ialah penyampaiaan suatu berita
yang menyajikan dan menggabungkan teks, suara, gambar, animasi dan video sama
dengan apa yang biasa kita sebut dengan media cetak, media elektronik, dan
media online.
Etika berbisnis
dalam multimedia didasarkan pada pertimbangan:
1.
Akuntabilitas
perusahaan, di dalamnya termasuk corporate
governance, kebijakan keputusan, manajemen keuangan, produk dan pemasaran.
2.
Tanggung jawab
sosial, yang merujuk pada peranan bisnis dalam lingkungannya, pemerintah lokal
dan nasional, dan kondisi bagi pekerja.
3.
Hak dan kepentingan
stakholder, yang ditujukan pada
mereka yang memiliki andil dalam perusahaan, termasuk pemegang saham, owners, para eksekutif, pelanggan, supplier dan pesaing.
Berakhlak
dan berusaha membentuk akhlaqul karimah sudah merupakan kewajiban dan ciri khas
umat Islam. Urgensi berakhlak Islami dalam pemasaran (multimedia etika bisnis):
a. Barometer ketaqwwaan seseorang, b.
Mendatangkan keberkahan, c. Berbisnis omerupakan sarana ibadah kepada Allah
Swt, d. Niat Ikhlas mengaharap ridha Allah Swt, e. Jujur dan amanah, f. Tidak
melannggar prinsip syariah.[10]
Etika
dalam berbisnis tidak dapat diabaikan, sehingga pelaku bisnis khususnya
multimedia, dalam hal ini perlu merumuskan kode etik yang harus disepakati oleh
2 stakholder, termasuk didalamnya production house, stasiun TV, radio,
penerbit buku, media masa, internet
provider, event organizer, advertising agency, dll.
Hal
lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mencoba untuk memandu
pembentukan kultur melalui kurikulum pendidikan, perayaan liburan nasional, dan
mengendalikan dengan seksama media masa, organisasi sosial dan tata ruang kota.
Media
masapun sangat berperan penting dalam hal inii, karena merekalah yang
menginformasikan kepada masyarakat, merekalah yang bissa membentuk opini baik
ataupun buruk dari masyarakat, hendaknya media menjadi sarana untuk menghibur,
sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat.
E.
Etika Produksi
Nilai-nilai
dan norma dalam berproduksi, sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor
produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen,
semuanya harus mengikuti moralitas Islam.
Secara
filosofis, aktivitas produksi meliputi :
1.
Produk
apa yang dibuat
2.
Berapa
kuantitas produk yang dibuat
3.
Mengapa
produk tersebut dibuat
4.
Di
mana produk tersebut dibuat
5.
Kapan
produk dibuat
6.
Siapa
yang membuatnya
7.
Bagaimana
membuatnya.
Etika bisnis yang terkait dengan fungsi produksi adalah berkaitan
dengan upaya memberikan solusi atas tujuh permasalahan di atas. Akhlak utama
produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual maupun
secara bersama, ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan Allah. Tidak
melampaui apa yang diharamkan-Nya. Islam melarang menyianyiakan potensi
material maupun potensi sumber daya manusia. Di dalam bisnis Islam kegiatan
produksi menjadi sesuatu yang unik dan istimewa, sebab di dalamnya terdapat
faktor itqan (profesionalitas)
yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala
sesuatu.[11]
Beberapa etika yang perlu diperhatikan dalam proses produksi,
antara lain dikemukakan Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya Nizam al-Islami
al-Iqtisadi: Mabadi Wa Qawa’id ‘Ammah, sebagai berikut.
1.
Dilarang
memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan
dengan syariah (haram). Dalam sistem ekonomi Islam tidak semua barang dapat
diproduksi dan dikonsumsi. Islam dengan tegas mengklasifikasikan berang-barang
atau komoditas ke dalam dua kategori. Pertama, barang-barang yang disebut
al-Qur’an Thayyibat yaitu barang-barang yang secara hukum halal
dikonsumsi dan diproduksi dan kedua Khabaits yaitu
barang-barang yang secara hukum haram dikonsumsi dan diproduksi.
Tantangan yang sangat berat bagi pelaku ekonomi Muslim dalam dunia modern, di
mana peluang bisnis yang menguntungkan selalu datang dari usaha-usaha yang “khabaits”.[12]
2.
Dilarang
melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kezaliman, seperti riba di
mana kezaliman menjadi illat hukum bagi haramnya riba. Madarat
atau kerusakan yang diakibatkan kerja ekonomi-ribawi dapat merusak dan
merugikan ekonomi pribadi, rumah tangga, dan perusahaan.[13]
3.
Segala
bentuk penimbunan (ikhtikar) terhadap barang-barang kebutuhan bagi
masyarakat, adalah dilarang sebagai perlindungan syariah terhadap konsumen dari
masyarakat.
4.
Memelihara
lingkungan. Manusia sebagai produsen dalam melakukan kegiatan produksi tidak
boleh melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan hidup atau lingkungan
makhluk lain. Memelihara hubungan yang harmonis dengan alam dan sekeliling
adalah satu keharusan bagi setiap individu. [14]
Perlindungan kekayaan alam etika yang terpenting adalah menjaga sumber daya
alam, karena ia merupakan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya. Setiap hamba
wajib mensyukuri nikmat adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi,
kehancuran, atau kerusakan. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah Allah memperbaikinya”.[15]
F.
Pemanfaatan SDM
Wiley
dalam Azhar (2007) mendefinisikan bahwa sumber daya manusia merupakan pilar
penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan visi
dan misi serta tujuan dari organisasi tersebut. Sumber daya manusia merupakan
salah satu elemen organisasi yang sangat penting, oleh karena itu harus
dipastikan bahwa pengelolaan sumber daya manusia dilakukan sebaik mungkin agar
mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya pencapaian tujuan
organisasi. Dalam pengertian sehari-hari, Sumber Daya Manusia (SDM) lebih
dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi.
Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus
mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Dalam
pemanfaatan SDM, permasalahan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
sebagai berikut:
1.
Kualitas SDM
yang sebagian besar masih rendah atau kurang siap memasuki duniakerja atau
dunia usaha.
2.
Terbatasnya
jumlah lapangan
3.
Jumlah angka
pengangguran yang cukup tinggi.
Dalam
pemanfaatan sumber daya tersebut maka
solusinya adalah dengan melaksanakan: Program pelatihan bagi tenaga kerja
sehingga tenaga kerja memiliki keahlian yang sesuai dengan lapangan yang
tersedia, pembukaan investasi-investasi baru, melakukan program padat karya,
serta memberikan penyuluhan dan informasi yang cepat mengenai lapangan
pekerjaan. Keberhasilan upaya tersebut di atas, pada akhirnya diharapkan dapat
menciptakan basis dan ketahanan perekonomian rakyat yang kuat dalam menghadapi
persaingan global baik di dalam maupun di luar negeri dan pada gilirannya dapat
mempercepat terwujudnya kemandirian bangsa.[16]
Perusahaan
biasanya melakukan beberapa program untuk tetap memastikan tenaga kerjanya
senantiasa sesuai dengan perencanaan strategis perusahaan, diantaranya.
1.
Promosi, adalah
proses pemindahan tenaga kerja ke posisi yang lebih tinggi secara struktural
dalam organisasi perusahaan, biasanya kita sebut dengan istilah “naik pangkat”
atau “naik jabatan”.
2.
Demosi atau
penurunan tenaga kerja kepada bagian kerja yang lebih rendah yang biasanya
disebabkan karena adanya penurunan kualitas tenaga kerja dalam pekerjaaannya.
3.
Transfer, merupakan
upaya untuk memindahkan tenaga kerja ke bagian yang lain, yang diharapkan
tenaga kerja tersebut bisa lebih produktif setelah mengalami transfer.
4.
Separasi, merupakan
upaya perusahaan untuk melakukan pemindahan lingkungan kerja tertentu dari
tenaga kerja ke lingkungan yang lain, biasanya dilakukan sekiranya terdapat
konflik atau masalah yang timbul dari tenaga kerja, dilakukan untuk
meminimalkan atau menghilangkan konflik tersebut sehingga tidak mengganggu
jalanya operasionalisasi perusahaan.
G.
Etika Kerja
Etika kerja adalah sistem nilai atau norma yang digunakan oleh
seluruh karyawan perusahaan, termasuk pimpinannya dalam pelaksanaan kerja
sehari-hari. Perusahaan dengan etika kerja yang baik akan memiliki dan
mengamalkan nilai-nilai, yakni: kejujuran, keterbukaan, loyalitas kepada perusahaan,
konsisten pada keputusan, dedikasi kepada stakholder, kerja sama yang baik,
disiplin dan bertanggung jawab.
Subekti menambahkan, suatu individu atau kelompok masyarakat dapat
dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda
sebagai berikut:
1.
Mempunyai
penilaian yang sangat positif terhadap hasilkerja manusia.
2.
Menempatkan
pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi
manusia.
3.
Kerja
yag dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.
4.
Kerja
dihayati sebagai suatu proses yang membuthkan ketekunan dan sekaligus sarana
yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
5.
Kerja
dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Penjelasan ini sangat menunjukkan bahwasanya suatu pekerjaan dalam
bidnag apapun haruslah beretika dengan benar sesuai dengan profesi dari
masing-masing individu.[17]
H.
Hak-hak Pekerja
Dalam rangka menjamin kepastian
hukum dan perlindungan terhadap pekerja atau buruh, maka pemerintah
mengeluarkan peraturan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, serta peraturan pemerintah bahkan keputusan-keputusan mentri
yang mengatur tentang perlindungan tenaga kerja. Dalam UU No. 13 Tahun 2003
pasal 1 disebutkan bahwa pekerja /buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[18]
Terdapat
hak–hak dasar pekerja, yaitu :
1.
Hak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi.
Hak ini diatur
dalam pasal 6 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi
“setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa
diskriminasi dari pengusaha”. Artinya, Pengusaha harus memberikan hak dan
kewajiban pekerja tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, warna kulit,
keturunan, dan aliran politik.
2.
Hak memperoleh
pelatihan kerja.
Hak ini diatur
dalam pasal 11 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga kerja berhak
untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja”. Serta
pasal 12 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Pengusaha bertanggung jawab
atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan
kerja”. Artinya, selama bekerja pada suatu perusahaan maka setiap pekerja
berhak mendapatkan pelatihan kerja. Pelatihan kerja yang dimaksud merupakan
pelatihan kerja yang memuat hard skills maupun soft skills. Pelatihan kerja
boleh dilakukan oleh pengusaha secara internal maupun melalui lembaga-lembaga
pelatihan kerja milik pemerintah, ataupun lembaga-lembaga pelatihan kerja milik
swasta yang telah memperoleh izin. Namun yang patut digaris bawahi adalah semua
biaya terkait pelatihan tersebut harus ditanggung oleh perusahaan.
3.
Hak pengakuan
kompetensi dan kualifikasi kerja.
Hak
ini diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga
kerja berhak memperoleh pengakuan komptensi kerja setelah mengikuti pelatihan
kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja”. Serta dalam pasal 23
UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga kerja yang telah mengikuti program
pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan
atau lembaga sertifikasi.” Artinya, setelah pekerja mengikuti pelatihan kerja
yang dibuktikan melalui sertifikat kompetensi kerja maka perusaahaan/pengusaha
wajib mengakui kompetensi tersebut. Sehingga, dengan adanya pengakuan maka
dapat menjadi dasar bagi pekerja untuk mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan
kompetensinya.
4.
Hak Memilih
penempatan kerja.
Hak
ini diatur dalam pasal 31 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga
kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau
pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar
negeri”. Artinya, setiap pekerja memiliki hak untuk memilih tempat kerja yang
diinginkan. Tidak boleh ada paksaan ataupun ancaman dari pihak pengusaha jika
pilihan pekerja tidak sesuai dengan keinginan pengusaha.
5.
Hak-Hak Pekerja
Perempuan dalam UU No 13 Tahun 2003: Pekerja-Wanita
Pasal
76 (Ayat 1). Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23:00 s.d. 07:00. (Ayat 2).
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya sendiri
apabila bekerja antara pukul 23:00 s.d. 07:00. (Ayat 3). Perempuan yang bekerja
antara pukul 23:00 s.d. 07:00 berhak mendapatkan makanan dan minuman bergisi
serta jaminan terjaganya kesusilaan dan keamanan selama bekerja. (Ayat 4).
Perempuan yang bekerja diantara pukul 23:00 s.d. 05:00 berhak mendapatkan
angkutan antar jemput. Pasal 81. Perempuan yang sedang dalam masa haid dan
merasakan sakit, lalu memberiktahukan kepada pengusaha, maka tidak wajib bekerja
di hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pasal 82 (ayat 1). Perempuan berhak
memperoleh istirahat sekana 1,5 bulan sebelum melahirkan, dan 1,5 bulan setelah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Hal ini bertujuan
untuk memulihkan kesehatan, dan merawat bayinya. [19]
(ayat 2). Perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak mendapatkan
istriahat 1,5 bulan atau sesuai keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal
83. Perempuan berhak mendapatkan kesempatan menyusui anaknya jika harus
dilakukan selama waktu kerja.
6.
Hak lamanya
waktu bekerja dalam Pasal 77 UU No 13 Tahun 2003: 7 jam sehari setara 40 jam
seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
7.
Hak bekerja
lembur dalam pasal 78 UU No 13 Tahun 2003: Waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari. Waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 14 jam seminggu. Berhak Mendapatkan Upah lembur.
8.
Hak istirahat
dan cuti bekerja dalam pasal 79 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003: istirahat antara
jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; Istirahat
mingguan sehari untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 2 hari untuk 5 hari
kerja dalam seminggu ; Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Istirahat panjang, sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah
bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan
ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya
dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa
kerja 6 tahun.
9.
Hak beribadah.
Pekerja/buruh
sesuai dengan pasal 80 UU No 13 Tahun 2003, berhak untuk mendapatkan kesempatan
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Dalam hal ini, bagi pekerja
yang beragama Islam berhak mendapatkan waktu dan kesempatan untuk menunaikan
Sholat saat jam kerja, dan dapat mengambil cuti untuk melaksanakan Ibadah Haji.
Sedangkan untuk pekerja beragama selain Islam, juga dapat melaksanakan
ibadah-ibadah sesuai ketentuan agama masing-masing.
10.
Hak perlindungan
kerja.
Dalam
hal perlindungan kerja, setiap pekerja/buruh dalam pasal 86 UU No 13 Tahun 2003
berhak mendapatkan perlindungan yang terdiri dari: Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, Moral dan Kesusilaan, Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia dan nilai–nilai agama.
11.
Hak mendapatkan
upah
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi.
KenaikanUMP2016penghidupan layak bagi kemanusiaan yang disesuaikan dengan upah
minimum provinsi atau upah minimum kota, atau upah minimum sektoral.
Hak-hak yang telah dijabarkan diatas merupakan hak
pekerja/buruh/karyawan yang telah dilindungi oleh undang-undang. Jika
pekerja/buruh/karyawan merasa hak-haknya tersebut tidak diberikan oleh
pengusaha, maka pekerja/buruh/karyawan dapat menuntut pengusaha melalui
proses-proses yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
I.
Hubungan Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling
menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut
persaingan bisnis haruslahs bisa melahirkan suatu win-win situation.
Ekonomi Islam mengajarkan kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk
melakukan kerjasama. Kerjasama ini tentunya bertujuan untuk saling
tolong-menolong untuk mencapai keuntungan dalam kerangka keIslaman. Hal-hal
yang pertama kali harus diperhatikan adalah masalah akad. Pengaturan akad
adalah:
1.
Rukun
akad seperti penjual, pembeli barang, harga, akad, ijab qabul.
2.
Syarat
akad :
a.
Barang
dan jasa harus halal sehingga transaksi atas orang dan jasa yang haram menjadi
batal demi hukum syari’ah.
b.
Harga
barang dan jasa harus jelas.
c.
Tempat
penyerahan harus jelas karena alan berdampak pada biaya transaksi.
d.
Barang
yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan penjual.[20]
Saling
membantu, solider, dan mau menanggung kerugian dan bahaya adalah norma penting
dari kerangka ekonomi Islam diabndingkan dengan struktur ekonomi konvensional.
Dimana persaingan yang kejam menimbulkan banyak praktik tidak etis. Islam
menghargai orang yang membantu sesama disaat membutuhkan dan melarang perilaku
yang menyebabkan kerugian atau berbahaya bagi orang lain. Firman Allah Swt,
dalam Q. S. al-Maidah: 2.
Artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka
bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
Aqilah (hubungan antar orang dan kekerabatan) adalah sebuah kebiasaan
beberapa suku pada masa Nabi Saw. Syang memberlakukan prinsip tanggung jawab
bersama dan saling membantu.[21]
J.
Persepakatan Penggunaan Dana
Pengelola
perusahaan mau memberikan informasi tentang rencana penggunaan dana sehingga
penyandang dana dapat mempertimbangkan peluang return dan resiko. Rencana
penggunaan dana harus benar-benar transparan, komunikatif dan mudah dipahami.
Semua harus diatur atau ditentukan dalam perjanjian kerja sama penyandang dana
dengan alokator dana.
PENUTUP
A.
Kesempulan
Dari
penjelasan secara mendetail dari makalah yang sudah kami paparkan di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwasanya secara umum etika dalam suatu bisnis
sangatlah penting bagi suatu perusahaan karena ini suatu kebaikan. Baik itu
kebaikan dari pihak produsen, distributor ataupun konsumen bagi pelaku penentu
baikatau buruk (melakukan penilaian). Dan secara khusus etika dalam suatu
bisnis teruntuk makalah ini ialah terbentuknya suatu kepercayaan (trust) dari
para pihak yang melakukan produksi, distribusi atau konsumen, jika suatu
kepercayaan itu terbentuk maka semua pihak akan mempunyai keyakinan dalam
melakukan hal-hal tersebut. Oleh itu etika bisnis islam sangatlah penting bagi
para pelaku usha dan konsumennya dalam bermuamalah. Semoga kita juga dapat
mengambil inti sari dari makalah ini dan dapat menjadi ibrah bagi kehidupan
kita kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, M. Nur Rianto al. Dasar-Dasar
Pemasaran Bank Syariah. Bandung: Alfabeta, 2010.
Azizah, Mabarroh. “Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam”. Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia. Vol. 3. No. 1, 2013.
Effendi, Rustam. Produksi dalam Islam. Yogyakarta: Magistra
Insania Press, 2003.
Istiarti, Vg. Tinuk. “Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja
Perempuan di Sektor Formal”. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol.
11. No. 2, 2012.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KKNG). Pedoman Etika
Bisnis Perusahaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010.
Merpati, Vega O.. “Hak dan Kewajiban Perusahaan Terhadap Pekerja yang
Bekerja Melebihi Batas Waktu”. Lex Et Societatis. Vol. 2. No. 8, 2004.
Muhammad dan Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi
Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen,
Negara dan Pasar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Purwana, Agung Eko. Hukum Ekonomi. Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press, 2011.
Rivai, Veithzal, dkk.. Islamic
Business and Economic Ethics : Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak
Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
Saliman, Abdul Rasyid. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan
Contoh Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Syarifudin, Akhmad. “Pengaruh Kompetensi SDM dan Peran Audit
Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Variabel
Intervening Sistem Pengendalian Internal Pemerintah”. Jurnal Vokus Bisnis. Vol. 14. No. 2, 2014.
[1] Eko
Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang Press,
2008), 205.
[2] Akhmad
Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 146.
[3] Ibid., 154.
[4] Muhammad dan
Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, 2004), 133.
[5] Ibid., 134.
[6] Abdul Rasyid
Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), 232.
[7]Mabarroh
Azizah, “Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam”, Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, (2013), 39.
[8]M. Nur Rianto al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah
(Bandung: Alfabeta, 2010), 174.
[9] Setyowati
Subroto, “Etika Periklanan”, 3.
[10] Veitzal Rifai, Islamic Marketing (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), 211-216.
[11] Muhammad, Etika,
82.
[12] Rustam
Effendi, Produksi dalam Islam (Yogyakarta: Magistra Insania Press,
2003), 15.
[13] Ibid., 18.
[14] Ibid., 22.
[15] Veithzal
Rivai, dkk., Islamic Business and Economic Ethics : Mengacu pada Al-Qur’an
dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 291.
[16]
Akhmad Syarifudin,
“Pengaruh Kompetensi SDM dan Peran Audit Terhadap Kualitas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah dengan Variabel Intervening Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah”, Jurnal Vokus Bisnis,
Vol. 14, No. 2, (2014), 26.
[17] Komite
Nasional Kebijakan Governance (KKNG), Pedoman Etika Bisnis Perusahaan (Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2010), 30.
[18] Vega O. Merpati,
“Hak dan Kewajiban Perusahaan Terhadap Pekerja yang Bekerja Melebihi Batas
Waktu”, Lex Et Societatis, Vol. 2, No. 8, (2004), 83.
[19]
Vg. Tinuk Istiarti,
“Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal”, Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 11, No. 2, (2012), 104.
[20] Agung Eko
Purwana, Hukum Ekonomi (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), 102.
[21] Veitzal, Islamic,
276.
Comments
Post a Comment