NORMA DAN ETIKA DALAM PEMASARAN, PRODUKSI, MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN FINANSIAL



NORMA DAN ETIKA DALAM PEMASARAN, PRODUKSI,
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DAN FINANSIAL
 

PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Perkembangan dalam dunia bisnis kurun terakhir ini terlihat sangat maju dan tertata dengan baik. Produksi digenjot unutk menghasilkan produk yang bevarian dan banyak, dalam hal pemasaran pun juga di dorong untuk memberikan kreatifitas guna melariskan barang dagangan. Ini semua diharapkan untuk memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha dan bagai konsumen (timbal balik).
Dalam pemaparan diatas maka pera subjek usaha tentunya tidak memikirkan dari segi profitnya saja, mereka juga harus membuat bisnis mereka terkesan dan menjadi idaman di hati konsumen yaitu dengan cara bertika dalam melakukan produksi, pemasaran atau distribusi.
Tidak terfokus dalam produksi dan distribusi saja, namun juga keterlibatan konsumen harus juga difikirkan, karena merekalah yang akan menialai produk dari produsen. Hal ini akan berdampak saling menguntungkan antara kedua belah pihak, produsen mendapatkan provit dan kritik yang membangun sedangkan konsumen mendapat produk dan privasi konsumen tetap terjaga dengan aman.

B.            Pokok Masalah
1.             Pasar dan Perlindungan Konsumen
2.             Etika Iklan
3.             Multimedia Etika Bisnis
4.             Etika Produksi
5.             Pemanfaatan SDM
6.             Etika Kerja
7.             Hak-Hak Pekerja
8.             Hubungan Saling Menguntungkan
9.             Persepakatan Penggunaan Dana
PEMBAHASAN

A.           Pasar dan Perlindungan Konsumen
Pasar secara sederhana merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Adapaun pasar menurut kajian Ilmu Ekonomi memiliki pengertian, pasar merupakan suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan.[1]
Hal kecurangan yang biasa terjadi di pasar adalah kecurangan dalam hal takaran dan timbangan. Allah Swt. telah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa orang-orang yang melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan kebinasaan karena dianggap sebagai orang yang melupakan hari pembalasan di akhirat yang pada saat itu manudia menghadap-Nya untuk bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Dalam Q. S. al-Mutaffifin, Allah berfirman :
  

Artinya :
“1. Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. Pada suatu hari yang besar, 6. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”



Kejujuran dalam perdagangan dapat diwujudkan. Misalnya, pedagang harus mengatakan dengan jujur bahwa barang yang dijualnya berkualitas baik tanpa ada campuran dengan barang kualitas buruk. Pedagang juga harus jujur dalam menakar, mengukur, dan menimbang.[2]
Banyak orang yang percaya bahwa konsumen secara otomatis terlindungi dari kerugian dengan adanya pasar yang bebas dan kompetitif dan bahwa pemerintah atau para pelaku bisnis tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi masalah ini. Pasar bebas mendukung alokasi, penggunaan, dan distribusi barang-barang yang dalam artian tertentu, adil, menghargai hak, dan memiliki nilai kegunaan maksimum bagi orang-orang yang berpartisipasi dalam pasar. Lebih jauh lagi, di pasar seperti ini, konsumen dikatakan “berdaulat penuh”. Saat konsumen menginginkan dan bersedia membayar untuk satu produk, para penjual memperoleh insentif untuk memenuhi keginginan mereka.
Dalam Islam, pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal, karena secara teoritis maupun praktis, Islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana bersaing. Artinya, konsep pasar dalam Islam adalah pasar yang ditumbuhu nilai-nilai syariah seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan persaingan sehat yang merupakan nilai-nilai universal, bukan hanya untuk Muslim tetapi juga non-Muslim.[3]
Dengan memerhatikan kriteria pasar Islami tersebut maka dapat disimpulakan bahwa pasar Islami itu dibangun atas dasar terjaminnya persaingan yang sehat yang dibingkai dalam nilai dan moralitas Islam. Dalam kegiatan bsisnis, konsumenlah yang memiliki dampak terbanyak, oleh sebab itu maka untuk menciptakan keamanan dalam bisnis, maka sangat diperlukanlah pengawasan perlindungan konsumen.
Terdapat dua pengawasan perlindungan konsumen dalam Islam, yaiu sanksi religi berupa halal, haram, dosa dan pahala, dan sanksi hukum positif Islam dengan segala perangkatnya, seperti dewan hisbah dan peradilan.[4]
Untuk melindungi para konsumen, maka dalam fikih Islam dikenal beberapa perangkat istilah hukum, seperti pelarangan ba’i al-gharar (jual beli mengandung tipuan), pemberlakuan hak khiyar (hak untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi karena sebuah alasan yang diterima), beberapa hal yang merusak kebebasan transaksi seperti adanya al-ghalt (tidak adanya persesuaian dalam hal jenis atau sifat barang) dan al-ghubn (adanya tipuan yang disengaja) dan masih banyak lagi lainnya.[5]
Selain dalam fikih Islam, diperlukan juga adanya campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Berkaitan dengan hal itu telah disahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam ketentuan Pasal 2 UUPK ditentukan bahwa perlindungan konsumen berasaskan: manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.[6]
Ada juga tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen, yaitu :
1.             Kualitas produk
Maksudnya adalah produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh produsen (melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak atas produk yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu.
2.             Harga
Harga bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pembentukannya.
3.             Pengemasan dan pemberian halal
Pengemasan produk dan labek yang ditempelkan pada produk merupakan aspek bisnis yang semakin penting. Selain bertujuab melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk, terutama di era toko swalayan sekarang. Pengemasan dan label dapat menimbulkan juga masalah etis.

B.            Etika Iklan
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani. Adapun penegertian iklan secara komprehensif adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara personal yang dibayar oleh sponsor tertentu.
Sedangkan menurut Etika pengertian iklan adalah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.[7]
Iklan adalah sarana promosi yang digunakan oleh perusahaan guna untuk menginformasikan, segala sesuatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Informasi yang diberikan adalah nama produk, harga produk, serta keuntungan-keuntungan produk dibandingkan produk sejenis yang ditawarkan oleh pesaing.[8]
Ciri-ciri iklan yang baik, antara lain sebagai berikut.
1.             Etis : berkaitan dengan kepantasan.
2.             Estetis : berkaitan dengan kelayakan.
3.             Artistik : bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
Berikut ini adalah tata karma periklanan yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Diatur berdasarkan isi iklan dan ragam iklan.
1.             Hak Cipta. Penggunaan, penyebaran, penggandaan, penyiaran atau pemanfaatan lain materi atau bagian dari materi periklanan yang bukan milik sendiri, harus atas ijin tertulis dari pemilik atau pemegang merek yang sah.
2.             Bahasa. Iklan harus disajikan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh khalayak sasarannya, dan tidak menggunakan persandian (enkripsi) yang dapat menimbulkan penafsiran selain dari yang dimaksudkan oleh perancang pesan iklan tersebut. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, ”top”, atau kata-kata berawalan “ter“, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
3.             Tanda Asteris (*). Tanda pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Tanda asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut.
4.             Penggunaan Kata ”Satu-satunya”. Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “satu-satunya” atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menyebutkan dalam hal apa produk tersebut menjadi yang satu-satunya dan hal tersebut harus dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.
5.             Pemakaian Kata “Gratis”. Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
6.             Pencantum Harga. Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut.
7.             Garansi. Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
8.             Janji Pengembalian Uang (warranty). Jika suatu iklan menjanjikan pengembalian uang ganti rugi atas pembelian suatu produk yang ternyata mengecewakan konsumen, maka:
a.             Syarat-syarat pengembalian uang tersebut harus dinyatakan secara jelas dan lengkap, antara lain jenis kerusakan atau kekurangan yang dijamin, dan jangka waktu berlakunya pengembalian uang.
b.             Pengiklan wajib mengembalikan uang konsumen sesuai janji yang telah diiklankannya.
9.             Rasa Takut dan Takhayul. Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10.         Kekerasan. Iklan tidak boleh langsung maupun tidak langsung menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
11.         Keselamatan. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengabaikan segi-segi keselamatan, utamanya jika ia tidak berkaitan dengan produk yang diiklankan.
12.         Perlindungan Hak-hak Pribadi. Iklan tidak boleh menampilkan atau melibatkan seseorang tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari yang bersangkutan, kecuali dalam penampilan yang bersifat massal, atau sekadar sebagailatar, sepanjang penampilan tersebut tidak merugikan yang bersangkutan.
13.         Hiperbolisasi boleh dilakukan sepanjang ia semata-mata dimaksudkan sebagai penarik perhatian atau humor yang secara sangat jelas berlebihan atau tidak masuk akal, sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dari khalayak yang disasarnya.
14.         Waktu Tenggang (elapse time). Iklan yang menampilkan adegan hasil atau efek dari penggunaan produk dalam jangka waktu tertentu, harus jelas mengungkapkan memadainya rentang waktu tersebut.
15.         Penampilan Pangan. Iklan tidak boleh menampilkan penyia-nyiaan, pemborosan, atau perlakuan yang tidak pantas lain terhadap makanan atau minuman.
16.         Penampilan Uang. Penampilan dan perlakuan terhadap uang dalam iklan haruslah sesuai dengan norma-norma kepatutan, dalam pengertian tidak mengesankan pemujaan ataupun pelecehan yang berlebihan.
17.         Kesaksian Konsumen (testimony). Pemberian kesaksian hanya dapat dilakukan atas nama perorangan, bukan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas. Kesaksian konsumen harus merupakan kejadian yang benarbenar dialami, tanpa maksud untuk melebih-lebihkannya.
18.         Anjuran (endorsement). Pemberian anjuran hanya dapat dilakukan oleh individu, tidak diperbolehkan mewakili lembaga, kelompok, golongan, atau masyarakat luas.
19.         Perbandingan. Jika perbandingan langsung menampilkan data riset, maka metodologi, sumber dan waktu penelitiannya harus diungkapkan secara jelas. Pengggunaan data riset tersebut harus sudah memperoleh persetujuan atau verifikasi dari organisasi.
20.         Perbandingan Harga. Hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus disertai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai.
21.         Merendahkan. Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
22.         Peniruan. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentuk merek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.
23.         Istilah Ilmiah dan Statistik. Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah dan statistic untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan.
24.         Ketiadaan Produk. Iklan hanya boleh dimediakan jika telah ada kepastian tentang tersedianya produk yang diiklankan tersebut.
25.         Ketaktersediaan Hadiah. Iklan tidak boleh menyatakan “selama persediaan masih ada” atau kata-kata lain yang bermakna sama.
26.         Pornografi dan Pornoaksi. Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan/alasan apa pun.
27.         Khalayak Anak-anak. Film iklan yang ditujukan kepada, atau tampil pada segmen waktu siaran khalayak anak-anak dan menampilkan adegan kekerasan, aktivitas seksual, bahasa yang tidak pantas, dan atau dialog yang sulit wajib mencantumkan kata-kata “Bimbingan Orangtua” atau simbol yang bermakna sama.
Terdapat paling kurang 3 (tiga) prinsip moral, sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga prinsip itu adalah :
1.             Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan disini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis adalah upaya manipulasi dengan motif apapun juga.
2.             Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutan imperatif (imperative requirement).
Iklan semestinya menghormati hak dan tanggungjawab setiap orang dalam memilih secara bertanggungjawab barang dan jasa yang ia butuhkan, ini berhubungan dengan dimensi jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarakat, dan lain-lain.
3.             Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Ada 2 (dua) cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :
a.             Subliminal advertising.
Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi, tinggal dibawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.
b.             Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis.[9]

C.           Privasi Konsumen
Adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan atau kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain dalam rangka menyepi saja.

D.           Multimedia Etika Bisnis
Pada awalnya multimedia hanya mencakup media yang menjadi konsumsi indra penglihatan (gambar diam, teks, gambar gerak video, dan gambar gerak rekaan/animasi), dan konsumsi indra pendengaran (suara). Pengertian multimedia ialah penyampaiaan suatu berita yang menyajikan dan menggabungkan teks, suara, gambar, animasi dan video sama dengan apa yang biasa kita sebut dengan media cetak, media elektronik, dan media online.


Etika berbisnis dalam multimedia didasarkan pada pertimbangan:
1.             Akuntabilitas perusahaan, di dalamnya termasuk corporate governance, kebijakan keputusan, manajemen keuangan, produk dan pemasaran.
2.             Tanggung jawab sosial, yang merujuk pada peranan bisnis dalam lingkungannya, pemerintah lokal dan nasional, dan kondisi bagi pekerja.
3.             Hak dan kepentingan stakholder, yang ditujukan pada mereka yang memiliki andil dalam perusahaan, termasuk pemegang saham, owners, para eksekutif,  pelanggan, supplier dan pesaing.
Berakhlak dan berusaha membentuk akhlaqul karimah sudah merupakan kewajiban dan ciri khas umat Islam. Urgensi berakhlak Islami dalam pemasaran (multimedia etika bisnis): a.  Barometer ketaqwwaan seseorang, b. Mendatangkan keberkahan, c. Berbisnis omerupakan sarana ibadah kepada Allah Swt, d. Niat Ikhlas mengaharap ridha Allah Swt, e. Jujur dan amanah, f. Tidak melannggar prinsip syariah.[10]
Etika dalam berbisnis tidak dapat diabaikan, sehingga pelaku bisnis khususnya multimedia, dalam hal ini perlu merumuskan kode etik yang harus disepakati oleh 2 stakholder, termasuk didalamnya production house, stasiun TV, radio, penerbit buku, media masa, internet provider, event organizer, advertising agency, dll.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mencoba untuk memandu pembentukan kultur melalui kurikulum pendidikan, perayaan liburan nasional, dan mengendalikan dengan seksama media masa, organisasi sosial dan tata ruang kota.
Media masapun sangat berperan penting dalam hal inii, karena merekalah yang menginformasikan kepada masyarakat, merekalah yang bissa membentuk opini baik ataupun buruk dari masyarakat, hendaknya media menjadi sarana untuk menghibur, sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat.

E.            Etika Produksi
Nilai-nilai dan norma dalam berproduksi, sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam.


Secara filosofis, aktivitas produksi meliputi :
1.             Produk apa yang dibuat
2.             Berapa kuantitas produk yang dibuat
3.             Mengapa produk tersebut dibuat
4.             Di mana produk tersebut dibuat
5.             Kapan produk dibuat
6.             Siapa yang membuatnya
7.             Bagaimana membuatnya.
Etika bisnis yang terkait dengan fungsi produksi adalah berkaitan dengan upaya memberikan solusi atas tujuh permasalahan di atas. Akhlak utama produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual maupun secara bersama, ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan Allah. Tidak melampaui apa yang diharamkan-Nya. Islam melarang menyianyiakan potensi material maupun potensi sumber daya manusia. Di dalam bisnis Islam kegiatan produksi menjadi sesuatu yang unik dan istimewa, sebab di dalamnya terdapat faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu.[11]
Beberapa etika yang perlu diperhatikan dalam proses produksi, antara lain dikemukakan Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya Nizam al-Islami al-Iqtisadi: Mabadi Wa Qawa’id ‘Ammah, sebagai berikut.
1.             Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas yang tercela karena bertentangan dengan syariah (haram). Dalam sistem ekonomi Islam tidak semua barang dapat diproduksi dan dikonsumsi. Islam dengan tegas mengklasifikasikan berang-barang atau komoditas ke dalam dua kategori. Pertama, barang-barang yang disebut al-Qur’an Thayyibat yaitu barang-barang yang secara hukum halal dikonsumsi dan diproduksi dan kedua Khabaits yaitu  barang-barang yang secara hukum haram dikonsumsi dan diproduksi. Tantangan yang sangat berat bagi pelaku ekonomi Muslim dalam dunia modern, di mana peluang bisnis yang menguntungkan selalu datang dari usaha-usaha yang “khabaits”.[12]
2.             Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah kepada kezaliman, seperti riba di mana kezaliman menjadi illat hukum bagi haramnya riba. Madarat atau kerusakan yang diakibatkan kerja ekonomi-ribawi dapat merusak dan merugikan ekonomi pribadi, rumah tangga, dan perusahaan.[13]
3.             Segala bentuk penimbunan (ikhtikar) terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat, adalah dilarang sebagai perlindungan syariah terhadap konsumen dari masyarakat.
4.             Memelihara lingkungan. Manusia sebagai produsen dalam melakukan kegiatan produksi tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan hidup atau lingkungan makhluk lain. Memelihara hubungan yang harmonis dengan alam dan sekeliling adalah satu keharusan bagi setiap individu. [14] Perlindungan kekayaan alam etika yang terpenting adalah menjaga sumber daya alam, karena ia merupakan nikmat dari Allah kepada hamba-Nya. Setiap hamba wajib mensyukuri nikmat adalah dengan menjaga sumber daya alam dari polusi, kehancuran, atau kerusakan. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya”.[15]

F.            Pemanfaatan SDM
Wiley dalam Azhar (2007) mendefinisikan bahwa sumber daya manusia merupakan pilar penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan visi dan misi serta tujuan dari organisasi tersebut. Sumber daya manusia merupakan salah satu elemen organisasi yang sangat penting, oleh karena itu harus dipastikan bahwa pengelolaan sumber daya manusia dilakukan sebaik mungkin agar mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya pencapaian tujuan organisasi. Dalam pengertian sehari-hari, Sumber Daya Manusia (SDM) lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Dalam pemanfaatan SDM, permasalahan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.             Kualitas SDM yang sebagian besar masih rendah atau kurang siap memasuki duniakerja atau dunia usaha.
2.             Terbatasnya jumlah lapangan
3.             Jumlah angka pengangguran yang cukup tinggi.
Dalam pemanfaatan sumber daya  tersebut maka solusinya adalah dengan melaksanakan: Program pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memiliki keahlian yang sesuai dengan lapangan yang tersedia, pembukaan investasi-investasi baru, melakukan program padat karya, serta memberikan penyuluhan dan informasi yang cepat mengenai lapangan pekerjaan. Keberhasilan upaya tersebut di atas, pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan basis dan ketahanan perekonomian rakyat yang kuat dalam menghadapi persaingan global baik di dalam maupun di luar negeri dan pada gilirannya dapat mempercepat terwujudnya kemandirian bangsa.[16]
Perusahaan biasanya melakukan beberapa program untuk tetap memastikan tenaga kerjanya senantiasa sesuai dengan perencanaan strategis perusahaan, diantaranya.
1.             Promosi, adalah proses pemindahan tenaga kerja ke posisi yang lebih tinggi secara struktural dalam organisasi perusahaan, biasanya kita sebut dengan istilah “naik pangkat” atau “naik jabatan”.
2.             Demosi atau penurunan tenaga kerja kepada bagian kerja yang lebih rendah yang biasanya disebabkan karena adanya penurunan kualitas tenaga kerja dalam pekerjaaannya.
3.             Transfer, merupakan upaya untuk memindahkan tenaga kerja ke bagian yang lain, yang diharapkan tenaga kerja tersebut bisa lebih produktif setelah mengalami transfer.
4.             Separasi, merupakan upaya perusahaan untuk melakukan pemindahan lingkungan kerja tertentu dari tenaga kerja ke lingkungan yang lain, biasanya dilakukan sekiranya terdapat konflik atau masalah yang timbul dari tenaga kerja, dilakukan untuk meminimalkan atau menghilangkan konflik tersebut sehingga tidak mengganggu jalanya operasionalisasi perusahaan.

G.           Etika Kerja
Etika kerja adalah sistem nilai atau norma yang digunakan oleh seluruh karyawan perusahaan, termasuk pimpinannya dalam pelaksanaan kerja sehari-hari. Perusahaan dengan etika kerja yang baik akan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai, yakni: kejujuran, keterbukaan, loyalitas kepada perusahaan, konsisten pada keputusan, dedikasi kepada stakholder, kerja sama yang baik, disiplin dan bertanggung jawab.
Subekti menambahkan, suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1.             Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasilkerja manusia.
2.             Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.
3.             Kerja yag dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.
4.             Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membuthkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita.
5.             Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Penjelasan ini sangat menunjukkan bahwasanya suatu pekerjaan dalam bidnag apapun haruslah beretika dengan benar sesuai dengan profesi dari masing-masing individu.[17]

H.           Hak-hak Pekerja
Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap pekerja atau buruh, maka pemerintah mengeluarkan peraturan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta peraturan pemerintah bahkan keputusan-keputusan mentri yang mengatur tentang perlindungan tenaga kerja. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 1 disebutkan bahwa pekerja /buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[18]
Terdapat hak–hak dasar pekerja, yaitu :
1.             Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi.
Hak ini diatur dalam pasal 6 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi  “setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Artinya, Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, keturunan, dan aliran politik.


2.             Hak memperoleh pelatihan kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 11 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja”. Serta pasal 12 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja”. Artinya, selama bekerja pada suatu perusahaan maka setiap pekerja berhak mendapatkan pelatihan kerja. Pelatihan kerja yang dimaksud merupakan pelatihan kerja yang memuat hard skills maupun soft skills. Pelatihan kerja boleh dilakukan oleh pengusaha secara internal maupun melalui lembaga-lembaga pelatihan kerja milik pemerintah, ataupun lembaga-lembaga pelatihan kerja milik swasta yang telah memperoleh izin. Namun yang patut digaris bawahi adalah semua biaya terkait pelatihan tersebut harus ditanggung oleh perusahaan.
3.             Hak pengakuan kompetensi dan kualifikasi kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan komptensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja”. Serta dalam pasal 23 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.” Artinya, setelah pekerja mengikuti pelatihan kerja yang dibuktikan melalui sertifikat kompetensi kerja maka perusaahaan/pengusaha wajib mengakui kompetensi tersebut. Sehingga, dengan adanya pengakuan maka dapat menjadi dasar bagi pekerja untuk mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan kompetensinya.
4.             Hak Memilih penempatan kerja.
Hak ini diatur dalam pasal 31 UU No 13 Tahun 2003 yang berbunyi “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”. Artinya, setiap pekerja memiliki hak untuk memilih tempat kerja yang diinginkan. Tidak boleh ada paksaan ataupun ancaman dari pihak pengusaha jika pilihan pekerja tidak sesuai dengan keinginan pengusaha.
5.             Hak-Hak Pekerja Perempuan dalam UU No 13 Tahun 2003: Pekerja-Wanita
Pasal 76 (Ayat 1). Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23:00 s.d. 07:00. (Ayat 2). Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya sendiri apabila bekerja antara pukul 23:00 s.d. 07:00. (Ayat 3). Perempuan yang bekerja antara pukul 23:00 s.d. 07:00 berhak mendapatkan makanan dan minuman bergisi serta jaminan terjaganya kesusilaan dan keamanan selama bekerja. (Ayat 4). Perempuan yang bekerja diantara pukul 23:00 s.d. 05:00 berhak mendapatkan angkutan antar jemput. Pasal 81. Perempuan yang sedang dalam masa haid dan merasakan sakit, lalu memberiktahukan kepada pengusaha, maka tidak wajib bekerja di hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pasal 82 (ayat 1). Perempuan berhak memperoleh istirahat sekana 1,5 bulan sebelum melahirkan, dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan, dan merawat bayinya. [19] (ayat 2). Perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak mendapatkan istriahat 1,5 bulan atau sesuai keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83. Perempuan berhak mendapatkan kesempatan menyusui anaknya jika harus dilakukan selama waktu kerja.
6.             Hak lamanya waktu bekerja dalam Pasal 77 UU No 13 Tahun 2003: 7 jam sehari setara 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
7.             Hak bekerja lembur dalam pasal 78 UU No 13 Tahun 2003: Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 14 jam seminggu. Berhak Mendapatkan Upah lembur.
8.             Hak istirahat dan cuti bekerja dalam pasal 79 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003: istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; Istirahat mingguan sehari untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam seminggu ; Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Istirahat panjang, sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
9.             Hak beribadah.
Pekerja/buruh sesuai dengan pasal 80 UU No 13 Tahun 2003, berhak untuk mendapatkan kesempatan melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Dalam hal ini, bagi pekerja yang beragama Islam berhak mendapatkan waktu dan kesempatan untuk menunaikan Sholat saat jam kerja, dan dapat mengambil cuti untuk melaksanakan Ibadah Haji. Sedangkan untuk pekerja beragama selain Islam, juga dapat melaksanakan ibadah-ibadah sesuai ketentuan agama masing-masing.
10.         Hak perlindungan kerja.
Dalam hal perlindungan kerja, setiap pekerja/buruh dalam pasal 86 UU No 13 Tahun 2003 berhak mendapatkan perlindungan yang terdiri dari: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Moral dan Kesusilaan, Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan nilai–nilai agama.
11.         Hak mendapatkan upah
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi. KenaikanUMP2016penghidupan layak bagi kemanusiaan yang disesuaikan dengan upah minimum provinsi atau upah minimum kota, atau upah minimum sektoral.
Hak-hak yang telah dijabarkan diatas merupakan hak pekerja/buruh/karyawan yang telah dilindungi oleh undang-undang. Jika pekerja/buruh/karyawan merasa hak-haknya tersebut tidak diberikan oleh pengusaha, maka pekerja/buruh/karyawan dapat menuntut pengusaha melalui proses-proses yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

I.              Hubungan Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslahs bisa melahirkan suatu win-win situation.
Ekonomi Islam mengajarkan kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk melakukan kerjasama. Kerjasama ini tentunya bertujuan untuk saling tolong-menolong untuk mencapai keuntungan dalam kerangka keIslaman. Hal-hal yang pertama kali harus diperhatikan adalah masalah akad. Pengaturan akad adalah:
1.             Rukun akad seperti penjual, pembeli barang, harga, akad, ijab qabul.
2.             Syarat akad :
a.             Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas orang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syari’ah.
b.             Harga barang dan jasa harus jelas.
c.             Tempat penyerahan harus jelas karena alan berdampak pada biaya transaksi.
d.            Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan penjual.[20]
Saling membantu, solider, dan mau menanggung kerugian dan bahaya adalah norma penting dari kerangka ekonomi Islam diabndingkan dengan struktur ekonomi konvensional. Dimana persaingan yang kejam menimbulkan banyak praktik tidak etis. Islam menghargai orang yang membantu sesama disaat membutuhkan dan melarang perilaku yang menyebabkan kerugian atau berbahaya bagi orang lain. Firman Allah Swt, dalam Q. S. al-Maidah: 2.
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Aqilah (hubungan antar orang dan kekerabatan) adalah sebuah kebiasaan beberapa suku pada masa Nabi Saw. Syang memberlakukan prinsip tanggung jawab bersama dan saling membantu.[21]
J.             Persepakatan Penggunaan Dana
Pengelola perusahaan mau memberikan informasi tentang rencana penggunaan dana sehingga penyandang dana dapat mempertimbangkan peluang return dan resiko. Rencana penggunaan dana harus benar-benar transparan, komunikatif dan mudah dipahami. Semua harus diatur atau ditentukan dalam perjanjian kerja sama penyandang dana dengan alokator dana.


PENUTUP
A.      Kesempulan
Dari penjelasan secara mendetail dari makalah yang sudah kami paparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya secara umum etika dalam suatu bisnis sangatlah penting bagi suatu perusahaan karena ini suatu kebaikan. Baik itu kebaikan dari pihak produsen, distributor ataupun konsumen bagi pelaku penentu baikatau buruk (melakukan penilaian). Dan secara khusus etika dalam suatu bisnis teruntuk makalah ini ialah terbentuknya suatu kepercayaan (trust) dari para pihak yang melakukan produksi, distribusi atau konsumen, jika suatu kepercayaan itu terbentuk maka semua pihak akan mempunyai keyakinan dalam melakukan hal-hal tersebut. Oleh itu etika bisnis islam sangatlah penting bagi para pelaku usha dan konsumennya dalam bermuamalah. Semoga kita juga dapat mengambil inti sari dari makalah ini dan dapat menjadi ibrah bagi kehidupan kita kedepannya.




                                                        DAFTAR PUSTAKA        

Arif, M. Nur Rianto al. Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: Alfabeta, 2010.
Azizah, Mabarroh. “Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam”. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia. Vol. 3. No. 1, 2013.
Effendi, Rustam. Produksi dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003.
Istiarti, Vg. Tinuk. “Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal”. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol. 11.  No. 2, 2012.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KKNG). Pedoman Etika Bisnis Perusahaan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010.
Merpati, Vega O.. “Hak dan Kewajiban Perusahaan Terhadap Pekerja yang Bekerja Melebihi Batas Waktu”. Lex Et Societatis. Vol. 2. No. 8, 2004.
Muhammad dan Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Mujahidin, Akhmad. Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Purwana, Agung Eko. Hukum Ekonomi. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011.
Rivai, Veithzal, dkk.. Islamic Business and Economic Ethics : Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Saliman, Abdul Rasyid. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Syarifudin, Akhmad. “Pengaruh Kompetensi SDM dan Peran Audit Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Variabel Intervening Sistem Pengendalian Internal Pemerintah”.  Jurnal Vokus Bisnis. Vol. 14. No. 2, 2014.



[1] Eko Suprayitno, Ekonomi Mikro Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 205.
[2] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 146.
[3] Ibid., 154.
[4] Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004), 133.
[5] Ibid., 134.
[6] Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), 232.
[7]Mabarroh Azizah, “Etika Perilaku Periklanan dalam Bisnis Islam”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, (2013), 39.
[8]M. Nur Rianto al Arif, Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), 174.
[9] Setyowati Subroto, “Etika Periklanan”, 3.
[10] Veitzal Rifai, Islamic Marketing (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 211-216.
[11] Muhammad, Etika, 82.
[12] Rustam Effendi, Produksi dalam Islam (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2003), 15.
[13] Ibid., 18.
[14] Ibid., 22.
[15] Veithzal Rivai, dkk., Islamic Business and Economic Ethics : Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 291.
[16] Akhmad Syarifudin, “Pengaruh Kompetensi SDM dan Peran Audit Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Variabel Intervening Sistem Pengendalian Internal Pemerintah”,  Jurnal Vokus Bisnis, Vol. 14, No. 2, (2014), 26.
[17] Komite Nasional Kebijakan Governance (KKNG), Pedoman Etika Bisnis Perusahaan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2010), 30.
[18] Vega O. Merpati, “Hak dan Kewajiban Perusahaan Terhadap Pekerja yang Bekerja Melebihi Batas Waktu”, Lex Et Societatis, Vol. 2, No. 8, (2004), 83.
[19] Vg. Tinuk Istiarti, “Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal”, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 11,  No. 2, (2012), 104.
[20] Agung Eko Purwana, Hukum Ekonomi (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), 102.
[21] Veitzal, Islamic, 276.

Comments

Popular Posts