PENDAYAGUNAAN ZAKAT



PENDAYAGUNAAN ZAKAT DI INDONESIA

 
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Undang-Undang No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, pada bab V disebutkan bahwa hasil pengumpulan zakat di dayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama, pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Pendayagunaan zakat terhadap masyarakat miskin sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat memberdayakan ekonomi masyarakat miskin tersebut.
Dalam islam salah satu dari usaha untuk mengurangi serta mengentaskan kemiskinan adalah dengan adanya syariat zakat yang berfungsi sebagai pemerataan kekayaan. Sifat distribusi zakat yang bersifat produktif inilah memberikan zakat kepada fakir miskin untuk dijadikan modal usaha yang dapat menjadi mata pencaharian mereka, dengan usaha ini diharapkan mereka akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.
Upaya pendayagunaan zakat menurut prespektif ekonomi islam didasarkan pada prinsip-prinsip dan kaidah hukum islam, di mana keuangan islam menjadi sarana untuk menggerakkan kegiatan kegiatan diberbagai bidang, baik sektor ekonomi, sosial, keuangan maupun politik. 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendayagunaan zakat ?
2.      Bagaimana model pendayagunaan zakat ?
3.      Bagaimana pendapat fuqaha tentang pendayagunaan zakat ?



PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendayagunaan Zakat
Pendayagunaan mempunyai kata dasardaya dan guna kemudian diberi awalan “pen” dan akhiran “an”, menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa kata daya berarti kemampuan melakukan sesuatu dan kata guna yang berarti manfaat sehingga kata pendayagunaan berarti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat, bisa pula bermakna peningkatan kegunaan atau memaksimalkan kegunaan.[1]
Adapun zakat menurut etimologi berasal dari akar kata ز كا – زكا ء   
(zaka – zakaa) yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah, kata yang sama yaitu ز كى  (zaka) bermakna menyucikan atau membersihkan. Dari pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat bisa bermakna menyucikan atau membersihkan. Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa bisa berarti الصلا ح (Ash-Shalalu) yang berarti kebersihan. Sedangkan menurut terminology (syara’) zakat adalah sebuah aktifitas (ibadah) mengelurkan sebagian harta atau bahan makanan utama sesuai dengan ketentuan Syariat  yang diberikan kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu dengan kadar tertentu. [2]
Secara umum yang dimaksud dengan arah pendayagunaan zakat adalah segala sesuatu yang bertalian dengan usaha pemerintah dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita dan rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem distribusi yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial ekonomis dari zakat.[3] 
Aturan syari’ah menetapkan bahwa dana hasil pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah sepenuhnya adalah hak milik para mustahiq, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an:
  
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat:19)

Setidaknya terdapat enam hikmah zakat dalam kaitannya dengan solusi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan, antara lain:
1.      Prinsip pokok zakat pada dasarnya adalah perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.
2.      Zakat merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mugkin timbul dari kalangan mereka ketika ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupam mereka menjadi miskin dan menderita.
3.      Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah.
4.      Sebagai salah satu sumber dana bagi pembagunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus sarana pengembangan kualitas sumberdaya manusia mulim.
5.      Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai ketentuan Allah.
6.      Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapat. [4]

B.       Model-model Pendayagunaan Zakat.
Zakat yang terkumpul dalam dana BAZ dapat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama. Menurut Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 pemberdayaan itu mempunyai dua bentuk, yaitu:[5]
1.      Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak/darurat. (Pasal 14 ayat 3)
2.      Penyaluran dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan yaitu membantu mustahiq untuk meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalui program atau kegiatan yang berkesinambungan. (Pasal 14 ayat 4)
Bentuk pertama disebut dengan pemberdayaan konsumtif, dan kedua disebut dengan pemberdayaan produktif karena dana zakat yang diterima oleh penerima zakat dapat berkembang sehingga mengahasilkan dana yang lebih banyak.
1.         Pemberdayaan Zakat Konsumtif
Dana yang didistribusikan dalam bentuk pemberdayaan konsumtif ini hanyalah zakat, tidak dana yang lain. Dana-dana zakat yang didistribusikan dalam bentuk konsumtif dapat dibedakan dalam dua sifat.
a.    Konsumtif tradisional
Zakat dibagikan kepada mustahiq secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehati-hari seperti pembagian zakat fitrah berupa beras atau pembagian zakat amal untuk fakir miskin yang sangat membutuhkan. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi permasalahan umat yang diberikan dalam bentuk:[6]
1)   Pembagian bahan makanan secara langsung.
2)   Pemberian uang untuk pembelian kebutuhan sehari-hari.
3)   Pemberian sandang.
4)   Pemberian obat-obatan
5)   Pemberian uang utuk menyewa rumah
6)   Pemberian tempat tinggal
b.    Konsumtif kreatif
Zakat yang diwujudkan dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu fakir miskin dalam mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang dihadapinya, bantuan tersebut antara lain berupa:
1)   Pemberian beasiswa untuk anak keluarga miskin.
2)   Alat-alat sekolah untuk para pelajar.
3)   Bantuan sarana ibadah seperti sarung, mukena, dan sajadah.
4)   Bantuan alat pertanian seperti cangkul untuk petani.
5)   Bantuan sarana usaha untuk pedagang kesil seperti gerobak jualan.




2.         Pemberdayaan Zakat Produktif       
Zakat bukan hanya persoalan ibadah mahdhah (ritual murni) tapi juga persoalan maliyah ijtima’iyyah (harta benda sosial), oleh karenanya harus ma’qulul ma’na (rasonable = masuk akal).[7]
Pemberdayaan zakat, infaq, shadaqah, hibah, waiat, waris, dan kafarat diutamakan untuk usaha produktif dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana BAZ dapat didayagunakan:[8]
a.    Berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq, tidak semua asnaf menerima bantuan.
b.    Dimanfaatkan untuk usaha produktif.
Dana BAZ didayagunakan dengan persyaratan:
a.    Hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq 8 asnaf.
b.    Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
c.    Mendahulukan mustahiq dalam suatu wilayah.
Pendayagunaan dana BAZ untuk usaha produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebgai berikut:
a.    Terdapat usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan.
b.    Ditasyarufkan melalui Koperasi Dhuafa yang pendiriannya telah dibidani oleh BAZ.





C.    Pendayagunaan Zakat Menurut Para Fuqaha
1.      Fakir dan Miskin[9]
Nama fakir mencakup sa’il dan mahrum. Sa’il yaitu orang fakir yang meminta-minta dan sekarang disebut dengan gelandangan, pengemis, sedangkan mahrum adalah orang fakir yang tidak mau meminta-minta, menjaga kehormatan diri, dan disebut dengan miskin.
Barangkali orang miskin mampu menjaga kehormatan dirinya, tidak mau meminta-minta itu karena mempunyai harga diri yang kuat, atau memang karena kefakirannya tidak separah orang fakir. Dari kemungkinan yang kedua inilah asy-Syafi’i dan mayoritas pengikutnya berpendapat bahwa fakir lebih jelek keadaannya daripada miskin. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan pendapat golongan Hanafiyah. Karena menurut madzhab Abu Hanifah dan Malik, miskin lebih jelek keadaannya daripada fakir.
Sayyid sabiq berusaha mengkompromikan. Ia menjadikan kategori fakir dan miskin yaitu orang-orang yang tidak memperoleh kecukupan hidup.
Dalam keadaan hasil koleksi zakat sangat terbatas, menurut Malik, harus diprioritaskan golongan asy-Syafi’iyyah atau miskin menurut pengertian Abu Hanifah dan Malik. Orang yang mampu bekerja pada pekerjaan yang sesuai, akan tetapi ia sibuk mencari ilmu syar’iyyah di boleh menerima zakat atas nama fakir, karena mencari ilmu itu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi apabila ia tidak mampu untuk memperoleh ilmu, meskipun ia bermukmin di kampus, sedangkan ia mampu bekerja, maka ia tidak halal menerima zakat.
Sabahuddin Zaim menyatakan bahwa sebagian ulama seperti Hamidullah berpendapat bahwa pegertian miskin itu mencakup juga kepentingan-kepentingan non Muslim. Demikian juga pendapat Abdul Khaliq an-Nawawi. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, orang non Muslim tidak bisa minta zakat, karena zakat itu dipungut dari orang Islam. Menurutnya, mereka dapat menerima dari kas Negara, dari harta kharaj dan jizyah, tidak dari Baitulmal zakah.
Agaknya alasan-alasan ulama yang melarang memberi zakat kepada non muslim tersebut lemah sekali. Agama Islam datang bukan hanya manfaat unutk orang Islam saja, akan tetapi segala rahmat bagi semua umat manusia dan alam semesta.
2.      Al-Amilin
Imam Syafi’i menyatakan bahwa ‘amilun adalah orang-orang yang diangkat untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya, yaitu para sa’i (orang-orang yang datang ke daerah-daerah untuk memungut zakat) dan petunjuk-petunjuk jalan yang menolong mereka, karena mereka tidak bisa memungut zakat tanpa penunjuk-penujuk jalan itu. Menurut Sayyid Sabiq, yang mengangkat adalah Imam (kepala negara) atau pembantunya. Termasuk ‘amilun adalah para penjaga harta-harta zakat, pengembala-binatang-binatang zakat dan para panitia administrasi zakat. Sedangkan menurut al-Qardhawi ‘amilun adalah semua orang yang bekerja dalam perlengkapan administrasi urusan zakat, baik urusan pengumpulan, pemeliharaan, katatausahaan, perhitungan, pendayagunaan dan seterusnya.
Pelaksanaan zakat tidaklah merupakan persoalan pribadi antara muzakki (wajib zakat) dengan mustahik (penerima zakat), akan tetapi persoalan tata pemerintahan dan ketatanegaraan, karena zakat adalah menyangut bagaimana negara atau pemerintah berusaha dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan kesejahteraan umum, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual. Para penguasa boleh mempergunakan kekerasan terhadap mereka yang enggan membayar zakatnya, demikian menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqallani.
3.      Al-Muallafah Qulubuhum[10]
Menurut Abu Ya’la, muallafah terdiri dari dua golongan, yaitu orang Islam dan orang musyrik. Mereka ada empat kategori :
a.       Mereka yang dijinakkan hatinya agar cenderung untuk menolong kaum muslimin.
b.      Mereka yang dijinakkan hatinya agar cenderung untuk membela umat Islam.
c.       Mereka yang dijinakkan hatinya agar ingin masuk Islam.
d.      Mereka yang dijinakkan dengan diberi zakat agar kaum dan sukunya tertarik masuk Islam.
Menurut Sayyid Sabiq dan al-Qardhawi ada dua golongan muallafah, yaitu golongan orang Islam dan golongan non Islam. Golongan orang Islam ada empat kategori :
a.       Tokoh dan pimpinan orang Islam. Sebagaimana Abu Bakar ra. memberi bagian kepada ‘Adi bin Hatim, Az-Zibriqan bin Badr. Iman mereka bagus dan mempunyai kedudukan di masyarakat.
b.      Pemimpin orang-orang Islam yang lemah imannya, dipatuhi masyarakatnya. Dengan diberi zakat diharapkan imannya bisa kokoh dan kuat, ikhlas berjuang dan lain sebagainya.
c.       Orang-orang Islam yang berada di garis berbatasan musuh, diberi zakat untuk diharapkan dapat mempertahankan orang-orang Islam yang dibelakangnya dari serangan musuh. Pengarang al-Manar menyatakan bahwa golongan inilah yang menurut para ulama fikih dimasukkan bagian sabilillah. Pada waktu kita sekarang, yang lebih utama untuk dijinakkan hatinya adalah orang-orang Islam yang dibujuk rayu oleh orang-orang non Islam untuk masuk dalam pengampunan mereka dan agama mereka. Orang-orang inilah yang lebih utama dimasukkan kategori muallaf.
d.      Golongan orang Islam yang diperlukan untuk memungut zakat dari orang-orang yang tidak akan mengeluarkan zakat, melainkan melalui pengaruh mereka.


Muallaf yang dari golongan non Islam ada dua kategori :
a.       Orang-orang yang diharapkan beriman dengan dijinakkan hatinya.
b.      Orang-orang yang dikhawatirkan kejahatannya. Mereka diberi zakat untuk diharapkan bisa menahan kejahatan mereka dan kejahatan orang-orang yang bersama mereka.
4.      Ar-Riqab
Menurut Malik, Ahmad dan Ishaq, riqab adalah budak biasa dengan jatah zakat itu memerdekakan dirinya. Menurut golongan asy-syafi’iyyah dan al-Hanafiyah, riqab adalah budak mukatab, yaitu budak yang diberi kesempatan oleh tuannya untuk berusaha membebaskan dirinya dari tuannya, dengan membayar ganti rugi secara angsuran. Az-Zuhri pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang isinya bagian riqab itu separuh untuk mukatab dan separuh untuk membeli budak di merdekakan. Keduanya, sama-sama perbuatan yang mendekatkan surga dan menjauhkan neraka. Demikian pendapat yang ketiga ini didukung oleh Muhammad abduh dan Rasyid Ridha, yang diikuti oleh para ulama berikutnya, termassuk Sayyid Sabiq dan Yusuf al-Qardhawi.
Kemudian Al-Qardhawi mengembangkan pengrtian tersebut juga sesuai dengan perkembangan sosial politik, mengembangkan juga kepada pemerdekaan tawanan Muslim dibawah kekuasaan musuh kafir. Demikian juga al-Qardhawi sebagaimana Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut, mengembangkan pengertian Riqab ini kepada pemerdekaan bangsa yang terjajah oleh kolonialis, karena semuanya sama-sama mengandung sifat perbudakan.
Sejarah mencatat bahwa negara yang dibangun al-Qur’an dan dibimbing oleh Islam, yakni negara Islam adalah negara yang pertama kali memberantas perbudakan dengan segala macam bentuknya. Bahkan hal itu dimasukkan dalam anggaran (budget) zakat untuk memerdekakan budak, pada masa-masa dunia yang masih dalam kegelapan, tak kenal hak asasi manusia. Pemerdekaan budak diangkat menjadi hukum tata pemerintah, dijadikan program negara yang dibiayai dari anggaran zakat, sehingga merupakan tanggng jawab semua umat Islam wajib zakat, dan berarti menjadi ajaran pokok atau rukun kelima rukun Islam. Menurut Islam pembebasan perbudakan merupakan tanggung jawab dan program negara, yang biayanya diambil dari sumber dana zakat, sebagian denda dan sebagian tebusan, disamping anggota masyarakat dihimbau berperan serta dalam pembebasan perbudakan itu.
5.      Al-Gharimin
Gharim menurut Malik, asy-Syafi’i dan Akhmad ada dua macam :
a.       Berhutang untuk kepentingan pribadi di luar maksiat.
b.      Berhutang untuk kepentingan masyarakat (mashlahat umum).
Orang yang mempunyai harta benda dan berhutang, jika hutangnya harus dilunasi, maka ia menahan harta bendanya sejumlah yang mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga (dalam satu tahun, menurut golongan Malikiyyah dan Hanabilah; sesisa umur ghalib, menurut golongan asy-Syafi’iyyah), kemudian sisanya dibuat melunasi hutangnya, dan apabila masih kurang, maka ditutup oleh zakat, dari jatah gharim, demikian menurut Yusuf al-Qardhawi. Jadi ukuran gharim adalah sisa dari kebutuhan satu keluarga itu tidak cukup untuk melunasi hutang. Jumlah kekurangan yang harus dibayar oleh gharim kepada si berpiutang, setelah dibayarkannya sisa kebutuhan satu keluarga itulah yang dimintakan kepada Badan Amil Zakat untuk dilunasinya.
Menurut Abdul Khaliq an-Nawawi, orang yang berhutang itu pada dasarnya harus dilunasi dari harta bendanya sendiri, baru kekurangannya dimintakan dari jatah zakat. Apabila hutangnya itu menghabiskan semua harta benddanya dan bahkan masih kurang, maka kekurangannya itu bisa dimintakan ke Badan Amil Zakat untuk menutup kekurangannya itu, dan dia berhak menerima zakat lagi dari jatah fakir (sesudah jatah gharim) sejumlah kecukupan hidup satu keluarga.
Antara Yusuf al-Qardhai dan Abdul Malik an-Nawawi tidak ada perbedaan pendapat tentang ukuran gharim. Perselisihan pendapat terletak pada cara pembayaran hutang yang akan bertemu pada akhir prosesnya. Mereka yang berhutang untuk kepentingan umat Islam, baik fakir maupun kaya, dapat diberi zakat sejumlah hutangnya, tidak lebih. Kata Sabahaddin Zaim bahwa sebagian ulama membolehkan hutang untuk kepentingan umat Islam, dari dana zakat.
6.      Sabilillah
Menurut Sayyid Sabiq, sabilillah adalah jalan menuju kepada kerelaan allah, baik tentang ilmu maupun amal perbuatan. Abdul Wahhab Khallaf mempunyai pandangan, yakni kepentingan masyarakat dan kemashlahatan umum. Sedangkan al-Qardhawi mengambil jalan tengah, yakni kepentingan keagamaan, bukan terlalu sempit, yaitu arti perang dan pertahanan, juga bukan arti yang terlalu luas, yaitu kemashlahatan umum.
7.      Ibnus-Sabil
Menurut golongan asy-Syafi’iyyah, ibnus-sabil diberi zakat untuk nafkah, pakaian, tas perbekalan dan apa saja yang dibutuhkannya buat mencapai tujuan bepergiaannya. Menurut Malik dan Akhmad, ibnus-sabil yang berhak menerima zakat adalah khusus bagi musafir yang tengah perjalanan, bukan orang yang memberi hutangan dan dia mempunyai harta di negerinya untuk melunasi hutang, juga tidak boleh diberi zakat. Kalau tidak ada orang yang meminjaminya, atau dia tidak mempunyai harta untuk membayar hutangnya, maka ia baru boleh diberi zakat. Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa musafir yang terputus dari negerinya diberi zakat, dengan syarat bepergian dalam rangka ketaatan kepada Allah atau tidak maksiat. Ulama berlainan pendapat tentang bepergian mubah boleh mengambil zakat, meski bepergiannya utuk rekreasi atau pariwisata.
Menurut Ibnu Abidin, Ibnus-Sabil mencakup orang yang mempunyai harta tapi harta itu tidak berada di tangan, baik ia berada diluar daerah maupun di dalam daerahnya, dia punya piutang tetapi tidak dapat mengambilnya. Kalau orang yang dalam keadaan seperti ini dimasukkan ke dalam kategori fakir atau miskin, pendapat ini dapat disetujui. Akan tetapi kalau mereka itu dimasukkan ke dalam kategori Ibnus-Sabil sebagaimana pemikiran Ibnu abidin, rasanya tidak dapat disepakati. Alasannya ialah Ibnus-sabil menurut arti istilah yang berlaku pada masa ayat itu turun adalah orang yang bepergian. Dan  yang merupakan sifat khas pada ibnus-sabil yang mendapat bantuan zakat, yaitu adanya dua unsur, yaitu bepergian dan hambatan. Maka oleh karenanya, orang dalam keadaan sebagaimana disebutkan Ibnu Abidin tersebut seharusnya imasukkan dalam kaategori fakir-miskin, bukan kategori Ibnus-sabil.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah yang sudah diterangkan diatas dapat kita pahami, antara lain sebagai berikut:
1.      Secara umum yang dimaksud dengan arah pendayagunaan zakat adalah segala sesuatu yang bertalian dengan usaha pemerintah dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita dan rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem distribusi yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial ekonomis dari zakat.
2.      Pada dasarnya pendayagunaan zakat dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu pendayagunaan konsumtif dan pendayagunaa produktif.
3.      Pada poin yang ketiga ialah, bahwasanya sasaran pendayagunaan zakat menurut para fuqaha adalah yang terbaik dan haruslah sesuai. Fakir dan miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Sabilillah, Ibnu sabil










DAFTAR PUSTAKA
Abidah, Atik. Zakat Filantropi dalam Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011.
Didin, Hafidhudin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
KamusBesarBahasa Indonesia. Edisi III cet. II. Jakarta: BalaiPustaka, 2002.
Poernomo, Sjechul Hadi. Formula Zakat Menuju Kesejahteraan Sosial. Surabaya: CV. Aulia Surabaya, 2005.










[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III cet. II 2002), 242.
[2] Didin Hafidhuddin,  Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 7.
[3] Sjechul Hadi Permono, Formula Zakat Menuju Kesejahteraan Sosial (Surabaya: CV. Aulia Surabaya, 2005), 274.
[4] Didin, Zakat, 10-15.
[5]Kementrian Agama R.I Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan Zakat (Kantor Kementrian Agama Madiun, 2010), 24.
[6] Ibid., 26.
[7] Sjechul, Formula, 283.
[8] Atik Abidah, Zakat Filantropi dalam Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), 120.

[9] Ibid., 250.
[10] Kementrian, Petunjuk, 25.

Comments

Popular Posts