PENDAYAGUNAAN ZAKAT
PENDAYAGUNAAN ZAKAT DI INDONESIA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang
No. 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, pada bab V disebutkan bahwa hasil
pengumpulan zakat di dayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama,
pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan
mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Pendayagunaan zakat
terhadap masyarakat miskin sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan
pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan
modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja dengan adanya masalah tersebut maka
perlu adanya perencanaan yang dapat memberdayakan ekonomi masyarakat miskin
tersebut.
Dalam islam salah satu dari usaha untuk
mengurangi serta mengentaskan kemiskinan adalah dengan adanya syariat zakat
yang berfungsi sebagai pemerataan kekayaan. Sifat distribusi zakat yang
bersifat produktif inilah memberikan zakat kepada fakir miskin untuk dijadikan
modal usaha yang dapat menjadi mata pencaharian mereka, dengan usaha ini
diharapkan mereka akan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri.
Upaya pendayagunaan zakat menurut prespektif
ekonomi islam didasarkan pada prinsip-prinsip dan kaidah hukum islam, di mana
keuangan islam menjadi sarana untuk menggerakkan kegiatan kegiatan diberbagai
bidang, baik sektor ekonomi, sosial, keuangan maupun politik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendayagunaan
zakat ?
2. Bagaimana model
pendayagunaan zakat ?
3. Bagaimana pendapat
fuqaha tentang pendayagunaan zakat ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendayagunaan Zakat
Pendayagunaan mempunyai kata dasardaya dan guna kemudian diberi awalan
“pen” dan akhiran “an”, menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa kata daya
berarti kemampuan melakukan sesuatu dan kata guna yang berarti manfaat sehingga
kata pendayagunaan berarti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan
manfaat, bisa pula bermakna peningkatan kegunaan atau memaksimalkan kegunaan.[1]
Adapun zakat
menurut etimologi berasal dari akar kata ز
كا – زكا ء
(zaka – zakaa) yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah, kata yang sama yaitu ز كى (zaka) bermakna menyucikan atau membersihkan. Dari pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat bisa bermakna menyucikan atau membersihkan. Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa bisa berarti الصلا ح (Ash-Shalalu) yang berarti kebersihan. Sedangkan menurut terminology (syara’) zakat adalah sebuah aktifitas (ibadah) mengelurkan sebagian harta atau bahan makanan utama sesuai dengan ketentuan Syariat yang diberikan kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu dengan kadar tertentu. [2]
(zaka – zakaa) yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah, kata yang sama yaitu ز كى (zaka) bermakna menyucikan atau membersihkan. Dari pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat bisa bermakna menyucikan atau membersihkan. Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa bisa berarti الصلا ح (Ash-Shalalu) yang berarti kebersihan. Sedangkan menurut terminology (syara’) zakat adalah sebuah aktifitas (ibadah) mengelurkan sebagian harta atau bahan makanan utama sesuai dengan ketentuan Syariat yang diberikan kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu dengan kadar tertentu. [2]
Secara umum
yang dimaksud dengan arah pendayagunaan zakat adalah segala sesuatu yang
bertalian dengan usaha pemerintah dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan
zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita dan
rasa syara’, secara tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem distribusi
yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan
sosial ekonomis dari zakat.[3]
Aturan syari’ah menetapkan bahwa dana hasil pengumpulan zakat, infaq,
dan shadaqah sepenuhnya adalah hak milik para mustahiq, sebagaimana Firman
Allah dalam al-Qur’an:
“Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat:19)
Setidaknya terdapat enam hikmah
zakat dalam kaitannya dengan solusi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan,
antara lain:
1. Prinsip pokok zakat
pada dasarnya adalah perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan
akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat
kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan
mensucikan harta yang dimiliki.
2. Zakat merupakan hak
bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka,
terutama golongan fakir miskin, kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih
sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak,
dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus
menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mugkin timbul dari kalangan
mereka ketika ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat
sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan konsumtif yang sifatnya sesaat,
akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara
menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupam mereka menjadi miskin dan
menderita.
3. Sebagai pilar
amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan
para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah.
4. Sebagai salah
satu sumber dana bagi pembagunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki
umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi
sekaligus sarana pengembangan kualitas sumberdaya manusia mulim.
5. Untuk
memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan
harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari
harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai ketentuan Allah.
6. Dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan
pendapat. [4]
B.
Model-model
Pendayagunaan Zakat.
Zakat yang terkumpul dalam dana BAZ
dapat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama. Menurut
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor
D/291 tahun 2000 pemberdayaan itu mempunyai dua bentuk, yaitu:[5]
1. Penyaluran
dana zakat dapat bersifat bantuan sesaat, yaitu membantu mustahiq dalam
menyelesaikan atau mengurangi masalah yang sangat mendesak/darurat. (Pasal 14
ayat 3)
2. Penyaluran
dana zakat dapat bersifat bantuan pemberdayaan yaitu membantu mustahiq untuk
meningkatkan kesejahteraannya, baik secara perorangan maupun kelompok melalui
program atau kegiatan yang berkesinambungan. (Pasal 14 ayat 4)
Bentuk pertama disebut dengan pemberdayaan
konsumtif, dan kedua disebut dengan pemberdayaan produktif karena dana zakat
yang diterima oleh penerima zakat dapat berkembang sehingga mengahasilkan dana
yang lebih banyak.
1.
Pemberdayaan
Zakat Konsumtif
Dana
yang didistribusikan dalam bentuk pemberdayaan konsumtif ini hanyalah zakat,
tidak dana yang lain. Dana-dana zakat yang didistribusikan dalam bentuk
konsumtif dapat dibedakan dalam dua sifat.
a. Konsumtif
tradisional
Zakat dibagikan kepada
mustahiq secara langsung untuk kebutuhan konsumsi sehati-hari seperti pembagian
zakat fitrah berupa beras atau pembagian zakat amal untuk fakir miskin yang
sangat membutuhkan. Pola ini merupakan program jangka pendek dalam mengatasi
permasalahan umat yang diberikan dalam bentuk:[6]
1) Pembagian
bahan makanan secara langsung.
2) Pemberian
uang untuk pembelian kebutuhan sehari-hari.
3) Pemberian
sandang.
4) Pemberian
obat-obatan
5) Pemberian
uang utuk menyewa rumah
6) Pemberian
tempat tinggal
b. Konsumtif
kreatif
Zakat yang diwujudkan
dalam bentuk barang konsumtif dan digunakan untuk membantu fakir miskin dalam
mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang dihadapinya, bantuan tersebut antara
lain berupa:
1) Pemberian
beasiswa untuk anak keluarga miskin.
2) Alat-alat
sekolah untuk para pelajar.
3) Bantuan
sarana ibadah seperti sarung, mukena, dan sajadah.
4) Bantuan
alat pertanian seperti cangkul untuk petani.
5) Bantuan
sarana usaha untuk pedagang kesil seperti gerobak jualan.
2.
Pemberdayaan
Zakat Produktif
Zakat
bukan hanya persoalan ibadah mahdhah
(ritual murni) tapi juga persoalan maliyah
ijtima’iyyah (harta benda sosial), oleh karenanya harus ma’qulul ma’na (rasonable = masuk akal).[7]
Pemberdayaan
zakat, infaq, shadaqah, hibah, waiat, waris, dan kafarat diutamakan untuk usaha
produktif dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana
BAZ dapat didayagunakan:[8]
a. Berdasarkan
skala prioritas kebutuhan mustahiq, tidak semua asnaf menerima bantuan.
b. Dimanfaatkan
untuk usaha produktif.
Dana
BAZ didayagunakan dengan persyaratan:
a. Hasil
pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq 8 asnaf.
b. Mendahulukan
orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi
dan sangat memerlukan bantuan.
c. Mendahulukan
mustahiq dalam suatu wilayah.
Pendayagunaan
dana BAZ untuk usaha produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebgai
berikut:
a. Terdapat
usaha-usaha nyata yang berpeluang menguntungkan.
b. Ditasyarufkan
melalui Koperasi Dhuafa yang pendiriannya telah dibidani oleh BAZ.
C.
Pendayagunaan
Zakat Menurut Para Fuqaha
1.
Fakir dan Miskin[9]
Nama fakir mencakup sa’il dan mahrum. Sa’il yaitu
orang fakir yang meminta-minta dan sekarang disebut dengan gelandangan,
pengemis, sedangkan mahrum adalah orang fakir yang tidak mau meminta-minta,
menjaga kehormatan diri, dan disebut dengan miskin.
Barangkali orang miskin mampu menjaga kehormatan dirinya, tidak mau
meminta-minta itu karena mempunyai harga diri yang kuat, atau memang karena
kefakirannya tidak separah orang fakir. Dari kemungkinan yang kedua inilah
asy-Syafi’i dan mayoritas pengikutnya berpendapat bahwa fakir lebih jelek
keadaannya daripada miskin. Tetapi hal ini berbanding terbalik dengan pendapat
golongan Hanafiyah. Karena menurut madzhab Abu Hanifah dan Malik, miskin lebih
jelek keadaannya daripada fakir.
Sayyid sabiq berusaha mengkompromikan. Ia menjadikan kategori fakir
dan miskin yaitu orang-orang yang tidak memperoleh kecukupan hidup.
Dalam keadaan hasil koleksi zakat sangat terbatas, menurut Malik,
harus diprioritaskan golongan asy-Syafi’iyyah atau miskin menurut pengertian
Abu Hanifah dan Malik. Orang yang mampu bekerja pada pekerjaan yang sesuai,
akan tetapi ia sibuk mencari ilmu syar’iyyah di boleh menerima zakat atas nama
fakir, karena mencari ilmu itu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi apabila ia
tidak mampu untuk memperoleh ilmu, meskipun ia bermukmin di kampus, sedangkan
ia mampu bekerja, maka ia tidak halal menerima zakat.
Sabahuddin Zaim menyatakan bahwa sebagian ulama seperti Hamidullah
berpendapat bahwa pegertian miskin itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
non Muslim. Demikian juga pendapat Abdul Khaliq an-Nawawi. Akan tetapi menurut
kebanyakan ulama, orang non Muslim tidak bisa minta zakat, karena zakat itu
dipungut dari orang Islam. Menurutnya, mereka dapat menerima dari kas Negara,
dari harta kharaj dan jizyah, tidak dari Baitulmal zakah.
Agaknya alasan-alasan ulama yang melarang memberi zakat kepada non
muslim tersebut lemah sekali. Agama Islam datang bukan hanya manfaat unutk
orang Islam saja, akan tetapi segala rahmat bagi semua umat manusia dan alam
semesta.
2.
Al-Amilin
Imam Syafi’i menyatakan bahwa ‘amilun adalah orang-orang yang
diangkat untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya, yaitu para sa’i
(orang-orang yang datang ke daerah-daerah untuk memungut zakat) dan
petunjuk-petunjuk jalan yang menolong mereka, karena mereka tidak bisa memungut
zakat tanpa penunjuk-penujuk jalan itu. Menurut Sayyid Sabiq, yang mengangkat
adalah Imam (kepala negara) atau pembantunya. Termasuk ‘amilun adalah para
penjaga harta-harta zakat, pengembala-binatang-binatang zakat dan para panitia
administrasi zakat. Sedangkan menurut al-Qardhawi ‘amilun adalah semua orang
yang bekerja dalam perlengkapan administrasi urusan zakat, baik urusan
pengumpulan, pemeliharaan, katatausahaan, perhitungan, pendayagunaan dan
seterusnya.
Pelaksanaan zakat tidaklah merupakan persoalan pribadi antara
muzakki (wajib zakat) dengan mustahik (penerima zakat), akan tetapi persoalan
tata pemerintahan dan ketatanegaraan, karena zakat adalah menyangut bagaimana
negara atau pemerintah berusaha dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang merata material
dan spiritual. Para penguasa boleh mempergunakan kekerasan terhadap mereka yang
enggan membayar zakatnya, demikian menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqallani.
3.
Al-Muallafah Qulubuhum[10]
Menurut Abu Ya’la, muallafah terdiri dari dua golongan, yaitu orang
Islam dan orang musyrik. Mereka ada empat kategori :
a.
Mereka yang dijinakkan hatinya agar
cenderung untuk menolong kaum muslimin.
b.
Mereka yang dijinakkan hatinya agar
cenderung untuk membela umat Islam.
c.
Mereka yang dijinakkan hatinya agar
ingin masuk Islam.
d.
Mereka yang dijinakkan dengan
diberi zakat agar kaum dan sukunya tertarik masuk Islam.
Menurut Sayyid Sabiq dan al-Qardhawi ada dua golongan muallafah,
yaitu golongan orang Islam dan golongan non Islam. Golongan orang Islam ada
empat kategori :
a.
Tokoh dan pimpinan orang Islam.
Sebagaimana Abu Bakar ra. memberi bagian kepada ‘Adi bin Hatim, Az-Zibriqan bin
Badr. Iman mereka bagus dan mempunyai kedudukan di masyarakat.
b.
Pemimpin orang-orang Islam yang
lemah imannya, dipatuhi masyarakatnya. Dengan diberi zakat diharapkan imannya
bisa kokoh dan kuat, ikhlas berjuang dan lain sebagainya.
c.
Orang-orang Islam yang berada di
garis berbatasan musuh, diberi zakat untuk diharapkan dapat mempertahankan
orang-orang Islam yang dibelakangnya dari serangan musuh. Pengarang al-Manar
menyatakan bahwa golongan inilah yang menurut para ulama fikih dimasukkan
bagian sabilillah. Pada waktu kita sekarang, yang lebih utama untuk dijinakkan hatinya
adalah orang-orang Islam yang dibujuk rayu oleh orang-orang non Islam untuk
masuk dalam pengampunan mereka dan agama mereka. Orang-orang inilah yang lebih
utama dimasukkan kategori muallaf.
d.
Golongan orang Islam yang
diperlukan untuk memungut zakat dari orang-orang yang tidak akan mengeluarkan
zakat, melainkan melalui pengaruh mereka.
Muallaf yang
dari golongan non Islam ada dua kategori :
a.
Orang-orang yang diharapkan beriman
dengan dijinakkan hatinya.
b.
Orang-orang yang dikhawatirkan
kejahatannya. Mereka diberi zakat untuk diharapkan bisa menahan kejahatan
mereka dan kejahatan orang-orang yang bersama mereka.
4.
Ar-Riqab
Menurut Malik, Ahmad dan Ishaq, riqab adalah budak biasa dengan
jatah zakat itu memerdekakan dirinya. Menurut golongan asy-syafi’iyyah dan
al-Hanafiyah, riqab adalah budak mukatab, yaitu budak yang diberi kesempatan
oleh tuannya untuk berusaha membebaskan dirinya dari tuannya, dengan membayar
ganti rugi secara angsuran. Az-Zuhri pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar
bin Abdul Aziz, yang isinya bagian riqab itu separuh untuk mukatab dan separuh
untuk membeli budak di merdekakan. Keduanya, sama-sama perbuatan yang
mendekatkan surga dan menjauhkan neraka. Demikian pendapat yang ketiga ini
didukung oleh Muhammad abduh dan Rasyid Ridha, yang diikuti oleh para ulama
berikutnya, termassuk Sayyid Sabiq dan Yusuf al-Qardhawi.
Kemudian Al-Qardhawi mengembangkan pengrtian tersebut juga sesuai
dengan perkembangan sosial politik, mengembangkan juga kepada pemerdekaan
tawanan Muslim dibawah kekuasaan musuh kafir. Demikian juga al-Qardhawi
sebagaimana Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut, mengembangkan pengertian Riqab ini
kepada pemerdekaan bangsa yang terjajah oleh kolonialis, karena semuanya
sama-sama mengandung sifat perbudakan.
Sejarah mencatat bahwa negara yang dibangun al-Qur’an dan dibimbing
oleh Islam, yakni negara Islam adalah negara yang pertama kali memberantas
perbudakan dengan segala macam bentuknya. Bahkan hal itu dimasukkan dalam
anggaran (budget) zakat untuk memerdekakan budak, pada masa-masa dunia yang
masih dalam kegelapan, tak kenal hak asasi manusia. Pemerdekaan budak diangkat
menjadi hukum tata pemerintah, dijadikan program negara yang dibiayai dari
anggaran zakat, sehingga merupakan tanggng jawab semua umat Islam wajib zakat,
dan berarti menjadi ajaran pokok atau rukun kelima rukun Islam. Menurut Islam
pembebasan perbudakan merupakan tanggung jawab dan program negara, yang
biayanya diambil dari sumber dana zakat, sebagian denda dan sebagian tebusan,
disamping anggota masyarakat dihimbau berperan serta dalam pembebasan
perbudakan itu.
5.
Al-Gharimin
Gharim menurut Malik, asy-Syafi’i
dan Akhmad ada dua macam :
a.
Berhutang untuk kepentingan pribadi
di luar maksiat.
b.
Berhutang untuk kepentingan
masyarakat (mashlahat umum).
Orang yang mempunyai harta benda dan berhutang, jika hutangnya
harus dilunasi, maka ia menahan harta bendanya sejumlah yang mencukupi
kebutuhan hidup satu keluarga (dalam satu tahun, menurut golongan Malikiyyah
dan Hanabilah; sesisa umur ghalib, menurut golongan asy-Syafi’iyyah), kemudian
sisanya dibuat melunasi hutangnya, dan apabila masih kurang, maka ditutup oleh
zakat, dari jatah gharim, demikian menurut Yusuf al-Qardhawi. Jadi ukuran
gharim adalah sisa dari kebutuhan satu keluarga itu tidak cukup untuk melunasi
hutang. Jumlah kekurangan yang harus dibayar oleh gharim kepada si berpiutang,
setelah dibayarkannya sisa kebutuhan satu keluarga itulah yang dimintakan
kepada Badan Amil Zakat untuk dilunasinya.
Menurut Abdul Khaliq an-Nawawi, orang yang berhutang itu pada
dasarnya harus dilunasi dari harta bendanya sendiri, baru kekurangannya
dimintakan dari jatah zakat. Apabila hutangnya itu menghabiskan semua harta
benddanya dan bahkan masih kurang, maka kekurangannya itu bisa dimintakan ke
Badan Amil Zakat untuk menutup kekurangannya itu, dan dia berhak menerima zakat
lagi dari jatah fakir (sesudah jatah gharim) sejumlah kecukupan hidup satu
keluarga.
Antara Yusuf al-Qardhai dan Abdul Malik an-Nawawi tidak ada
perbedaan pendapat tentang ukuran gharim. Perselisihan pendapat terletak pada
cara pembayaran hutang yang akan bertemu pada akhir prosesnya. Mereka yang
berhutang untuk kepentingan umat Islam, baik fakir maupun kaya, dapat diberi
zakat sejumlah hutangnya, tidak lebih. Kata Sabahaddin Zaim bahwa sebagian ulama
membolehkan hutang untuk kepentingan umat Islam, dari dana zakat.
6.
Sabilillah
Menurut Sayyid Sabiq, sabilillah adalah jalan menuju kepada
kerelaan allah, baik tentang ilmu maupun amal perbuatan. Abdul Wahhab Khallaf
mempunyai pandangan, yakni kepentingan masyarakat dan kemashlahatan umum.
Sedangkan al-Qardhawi mengambil jalan tengah, yakni kepentingan keagamaan,
bukan terlalu sempit, yaitu arti perang dan pertahanan, juga bukan arti yang
terlalu luas, yaitu kemashlahatan umum.
7.
Ibnus-Sabil
Menurut golongan asy-Syafi’iyyah, ibnus-sabil diberi zakat untuk
nafkah, pakaian, tas perbekalan dan apa saja yang dibutuhkannya buat mencapai
tujuan bepergiaannya. Menurut Malik dan Akhmad, ibnus-sabil yang berhak
menerima zakat adalah khusus bagi musafir yang tengah perjalanan, bukan orang
yang memberi hutangan dan dia mempunyai harta di negerinya untuk melunasi
hutang, juga tidak boleh diberi zakat. Kalau tidak ada orang yang meminjaminya,
atau dia tidak mempunyai harta untuk membayar hutangnya, maka ia baru boleh
diberi zakat. Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa musafir
yang terputus dari negerinya diberi zakat, dengan syarat bepergian dalam rangka
ketaatan kepada Allah atau tidak maksiat. Ulama berlainan pendapat tentang
bepergian mubah boleh mengambil zakat, meski bepergiannya utuk rekreasi atau
pariwisata.
Menurut Ibnu Abidin, Ibnus-Sabil mencakup orang yang mempunyai
harta tapi harta itu tidak berada di tangan, baik ia berada diluar daerah
maupun di dalam daerahnya, dia punya piutang tetapi tidak dapat mengambilnya.
Kalau orang yang dalam keadaan seperti ini dimasukkan ke dalam kategori fakir
atau miskin, pendapat ini dapat disetujui. Akan tetapi kalau mereka itu
dimasukkan ke dalam kategori Ibnus-Sabil sebagaimana pemikiran Ibnu abidin, rasanya
tidak dapat disepakati. Alasannya ialah Ibnus-sabil menurut arti istilah yang
berlaku pada masa ayat itu turun adalah orang yang bepergian. Dan yang merupakan sifat khas pada ibnus-sabil
yang mendapat bantuan zakat, yaitu adanya dua unsur, yaitu bepergian dan
hambatan. Maka oleh karenanya, orang dalam keadaan sebagaimana disebutkan Ibnu
Abidin tersebut seharusnya imasukkan dalam kaategori fakir-miskin, bukan
kategori Ibnus-sabil.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah yang sudah diterangkan diatas dapat kita
pahami, antara lain sebagai berikut:
1.
Secara umum yang dimaksud dengan
arah pendayagunaan zakat adalah segala sesuatu yang bertalian dengan usaha
pemerintah dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat kepada sasaran
dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita dan rasa syara’, secara
tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem distribusi yang serba guna dan
produktif, sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial ekonomis
dari zakat.
2.
Pada dasarnya pendayagunaan zakat
dapat digolongkan dalam dua bagian yaitu pendayagunaan konsumtif dan
pendayagunaa produktif.
3.
Pada poin yang ketiga ialah,
bahwasanya sasaran pendayagunaan zakat menurut para fuqaha adalah yang terbaik
dan haruslah sesuai. Fakir dan miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim,
Sabilillah, Ibnu sabil
DAFTAR PUSTAKA
Abidah, Atik. Zakat Filantropi dalam Islam. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2011.
Didin, Hafidhudin. Zakat dalam
Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
KamusBesarBahasa Indonesia. Edisi III cet. II. Jakarta: BalaiPustaka, 2002.
Poernomo, Sjechul Hadi. Formula Zakat
Menuju Kesejahteraan Sosial. Surabaya: CV. Aulia
Surabaya, 2005.
[2] Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), 7.
[3] Sjechul Hadi Permono, Formula Zakat Menuju
Kesejahteraan Sosial (Surabaya: CV. Aulia Surabaya, 2005), 274.
[5]Kementrian Agama R.I Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan Zakat
(Kantor Kementrian Agama Madiun, 2010), 24.
[6] Ibid., 26.
[7] Sjechul, Formula, 283.
[8] Atik Abidah, Zakat Filantropi dalam Islam (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2011), 120.
[10] Kementrian, Petunjuk, 25.
Comments
Post a Comment