PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ruang
lingkup penegakan hukum yang secara hakikatnya sangat luas sekali, dikatakan
luas karena dari penegakan hukum tersebut mencakup lembaga-lembaga penegak
hukum sepertihalnya yang menerapkannya (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan),
pejabat-pejabat yang memegang peranan sebagai pelaksana dari penegakan hukum
misalnya (para Hakim, Jaksa, Polisi) dan dari segi administratif (proses
peradilan, pengusustan, penahanan).
Dalam
Pengadilan misalnya, banyak hal yang perlu di telaah baik dari segi strukturnya
maupun dari segi keorganisasiannya. Dilihat dari hakim dan
keputusan-keputusannyapun juga penting untuk diteliti. Gledon Schubert,
misalnya pernah mengadakan penelitian tentang pola perilaku hakim Amerika
Serikat beserta latarbelakangnya, dan keputusan-keputusan yang dihasilkannya
yang kemudian di hubungkan dengan bidang-bidang kehidupan seperti politik,
ekonomi, dan sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Penegakan Hukum ?
2.
Lembaga
Penegak Hukum di Indonesia ?
3.
Bagaimana
Proses Penegakan Hukum di Indonesia ?
C.
Maksud dan Tujuan
1.
Mengetahui
Pengertian, Bentuk-Bentuk, Lembaga-Lembaga, dan Proses Penegakan Hukum.
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Penegakan Hukum
Penegakan
Hukum merupakan proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.[1]
Penegakan
Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum,
baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (Alternative desputes or conflicts
resolution).
Dan
menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum itu bukan merupakan suatu tindakan
yang pasti, yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat di
ibaratkan menarik garis lurus antara dua titik.
Satjipto
Raharjo dalam bukunya “Penegakan Hukum (sebuah Tinjauan Sosiologis)” Mengatakan
Penegakan hukum sebagai Proses Sosial, yang bukan merupakan proses yang
tertutup melainkan proses yang mempengaruhi lingkungannya.
Dalam
arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses
penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak
hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan
kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian
demikian persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat atau
aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai
institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri.
Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang
pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara rasional dan
impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu
dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain
serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan
hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Inti
dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan antara apa yang
ada di dalam kaidah-kaidah sejumlah peraturan perundangan terhadap penciptaan,
pemeliharaan dan mepertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup sebagimana yang
dikemukakan Soekanto, lebih jauh Soekanto mengemukakan masalah pokok dalam penegakan
hukum adalah terletak pada hukumnya, sarana atay fasilitas yang mendukung,
masyarakat di mana hukum itu diberlakukan dan budaya hukum masyarakatnya.[2]
B.
Penegak Hukum
Hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjaadi juga karena pelanggaran hukum.
Melalui penegakan hukum inilah hukum itu mulai menjadi kenyataan. Dalam
menegkan hukum ada 3 unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan.[3]
Petugas
penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut
petugas-petugas pada strata atas, menengah dan bawah (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan). Yang jelas adalah bahwa didalam melaksanakan tugas-tugasnya, maka
petugas selayaknya mempunyai suatu pedoman, antara lain peraturan tertulis
tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal penegakan
hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai
berikut:
1.
Sampai
sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada.
2.
Sampai
batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan.
3.
Teladan
macam manakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4.
Samapai
sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada
para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Masalah-masalah
umum tersebut masih dapat berkembang sesuai dengan konteks masalah. Faktor
petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah
baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian pula
sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik,
mungkin pula timbul masalah-masalah.
C.
Proses Penegakan Hukum
Dalam
pembahasan mengenai proses penegakan hukum terdapat beberapa pembahasan yaitu :
1.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum
Masalah
penegakan hukum memang harus merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh
setiap masyarakat. Meskipun kemudian, setiap masyarakat dengan karakteristiknya
masing-masing, mungkin memberikan corak yang permasalahan tersendiri didalam
kerangka penegakan hukumnya. Persamaanya adalah bahwa tujuan masing-masing
adalah agar didalam masyarakat tercapai keadaan damai sebagai akibat dari
penegakan hukum fungsional. Keadaan damai atau kedamaian tersebut berarti,
bahwa disatu pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan
dilain pihak terdapat ketentraman pribadi yang intern.
Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yg mempengaruhi penegakan hukum adalah:[4]
a.
Faktor
hukumnya sendiri hanya dibatasi dengan undang-undang saja.
b.
Faktor
penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yg membentuk maupun menerapkan hukum
c.
Faktor
sarana atau fasilitas yg mendukung penegakan hukum
d.
Faktor
masyarakatnya, yakni lingkungan di mana hukum tsb berlaku atau diterapkan
e.
Faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yg didasarkan pada karsa manusia
di dlm pergaulan hidup.
2.
Proses
penagakan hukum.
Penegakan
hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu, seperti polisi,
jaksa, dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan
pemaksaan (Coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk
mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi tidak ada artinya bila perintahnya
tidak dapat dilaksanakan. Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah
dan paksaan yang secara potensial ada didalam peraturan itu menjadi manifes.
Penegakan
hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam suatu negara hukum, karena
hanya dengan penegakan hukumlah maka tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian
hukum dan ketertiban akan dapat dirasakan masyarakat.
Menurut
Prof. Sudikno Mertokusumo, ada tiga hal penting yg harus diperhatikan dlm menegakkan
hukum, yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum .Sekaitan dengan ini,
Satjipto Raharjo menyatakaan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemaanfaantan sosial
menjadi kenyataan.
Studi
tentang penegakan hukum selalu dikaitkan dengan paradigma sistem hukum sebagaimana
dikemukakan Lawrence M. Fiedman, yang membagi sistem hukum itu ke dalam 3 sub
sistem, yaitu:
a.
Substansi
hukum (legal substance) yang diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan atau
dihasilkan oleh sebuah mesin
b.
Struktur
Hukum (legal structur) yang diibaratkan sebagai mesin
c.
Kultur
hukum (legal cultur), yakni apa saja atau siapa saja yg memutuskan mesin itu
digunakan.
Tahap-tahap
penegakan hukum, dalam penegakan hukum ada tiga tahap yaitu:
a.
Tahap
formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan
pembentuk undang-undang, tahap ini dapat disebut tahap kebijakan legislatif.
b.
Tahap
aplikasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penrapan hukum pidana) oleh
aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan hingga
pengadilan.
c.
Tahap
eksekusi
Yaitu tahap penegakan atau pelaksanaan hukum pidana secara konkret
oleh aparat pelaksana pidana.[5]
D.
Peningkatan Kesadaran Hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya
dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar
perencanaan yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui
dan memahami hukum tertentu, misalnya peraturan perundang-undangan tertentu
mengenai zakat, pajak dan seterusnya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui
penerangan dan penyuluhan hukum, mungkin hanya dijelaskan dengan pasal-pasal
tertentu dari suatu peraturan perundang-undangan, agar masyarakat merasakan
manfaattnya. Penerangan dan penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan
masalah-masalah hukum yang ada dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi
sasaran penyuluhan hukum.
Penyuluhan hukum merupakan
tahaplanjutan dari penerangan hukum. Tujuan utama dari penerangan dan
penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami hukum-hukum tertentu,
sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada suatu saat. Penyuluhan
hukum harus berisikan hak dan kewajiban di bidang-bidang tertentu, serta
manfaatnya bila hukum dimaksud ditaati.
Penerangan dan penyuluhan hukum
menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang
mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu petugas
hukum.yang disebutkan terakhir iniharus diberikan pendidikan khusus, supaya
mampu memberikan penerangan dan penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi
petugas-petugas itulah yang justru memanfaatkan hukum untuk kepentingan
pribadi, dengan jalan menakut-nakuti warga masyarakat yang awam terhadap
hukuim.[6]
E.
Contoh Kasus dalam Penegakan Hukum
Penegakan
Hukum Melalui Pandangan Sosiologi Hukum dalam Kasus Pencurian Kakao Oleh Nenek
Minah
Warga negara Indonesia tidak asing
dengan kata “Hukum” namun apakah yang dimaksud dengan hukum? Menurut pendapat
saya hukum adalah peraturan yg dibuat oleh badan-badan berwajib yg bersifat
memaksa, harus dipatuhi dan akan memberi sanksi bagi yang melanggarnya dan ada
Undang-undang yg mengaturnya serta mampu diterima oleh masyarakat dimana hukum
itu diterapkan, sehingga apabila ada seseorang yang melanggar peraturan
tersebut sudah pasti mendapatkan sanksi yang dapat dirasakan nyata. Indonesia
sendiri merupakan negara hukum dirumuskan dengan tegas dalam pasal 1 ayat (3)
yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Hal ini berarti
Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga
negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan juga
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
Adanya hukum tersebut tidak lain
adalah untuk menciptakan ketertiban dan keamanan, mewujudkan rasa keadilan, dan kesejahteraan
serta mencegah perpecahan dan memberikan manfaat bagi yg bersangkutan. [1] Jika
dilihat dalam pandangan sosiologi hukum, di Indonesia hukum hanya sebagai
rekayasa sosial. Dewasa ini kondisi Hukum di Indonesia sering menemui berbagai
kritik yang berkaitan dengan penegakkan
hukum, kesadaran hukum, kualitas hukum, ketidak jelasan berbagai hukum yang
berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan
berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan
hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di
Indonesia itu dapat dibeli. Karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum
tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan
adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi juga dipermainkan seperti
barang dagangan.
Menurut [2]Satjipto Rahardjo
(2003:15), istilah atau kata “penegakan hukum” yang merupakan kata Indonesia
untuk law enforcement. la adalah istilah yang juga dikenal dan digunakan oleh
masyarakat luas. Disamping itu secara sosiologis dikenal istilah yang lain,
yaitu “penggunaan hukum” (the use of law)”. Penegakan hukum dan penggunaan
hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang
dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat
menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain.
Maka menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.
Dengan demikian, maka pelaksanaan
atau penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum tersebut tidak lain adalah
pikiran atau keinginan para badan pembuat undang yang dirumuskan dalam
peraturan-perundang-undangan. Dalam hal ini, perumusan pikiran pembuat hukum
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
pelaksanaan atau penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataannya, maka
proses pelaksanaan atau penegakan hukum itu bermuara pada pelaksanaannya oleh
para pejabat hukum (legal structure) itu sendiri. Di samping itu, [3]Soerjono
Soekanto (1989:57) mengemukakan bahwa agar hukum atau peraturan (tertulis)
benar-benar berfungsi dalam arti dapat ditegakkan, senantiasa dikembalikan pada
paling sedikit 4 faktor yaitu : 1). hukum atau peraturan itu sendiri, 2).
petugas yang menegakkannya, 3). fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan
hukum, 4). masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Ilmu hukum memiliki penggolongan
mengenai hukum, salah satunya adalah hukum pidana. Hukum pidana ini bertujuan
untuk mencegah perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan hukum yang berlaku, karena bentuk hukum pidana merupakan bagian
dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara. Pelaku tindak pidana akan dikenakan tindakan
melalui proses pemeriksaan persidangan perkara pidana. Dalam proses pemeriksan
persidangan, dibutuhkan suatu alat bukti untuk mengetahui bahwa telah terjadi
tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Dasar hukum tentang pembuktian dalam
hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana). Hakim dalam hukum acara pidana bersifat aktif, artinya hakim
berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan
kepada tertuduh. Putusan hakim kerap dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi
masyarakat, yang dalam hal ini adalah kasus Nenek Minah yang diputus bersalah
karena melakukan pencurian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP. Kasus
Nenek Minah ini dapat menjadi contoh, yang banyak kalangan menganalogikan
fenomena penegakan hukum di Indonesia itu seperti pisau, yaitu tajam ke bawah
tetapi tumpul ke atas. Karena mereka membandingkan kasus pencurian 3 buah kakao
yang dilakukan Nenek Minah ini dengan kasus besar seperti Kasus Bank Century,
dimana hakim hanya memvonis 4 tahun
penjara dan denda Rp 50 miliar/subsider (sebagai gantinya) 5 bulan penjara
kepada mantan pemilik sebagian saham PT Bank Century Tbk, Robert Tantular.
Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa. Orang yang menilap uang hingga
Rp 2.8 triliun dan menyebabkan lembaga negara harus mengucurkan dana Rp 6.7
triliun hanya divonis 4 tahun penjara. Hal yang tentunya sangat tidak adil jika
dibandingkan dengan Nenek tua yang mencuri 3 buah kakao hanya untuk dijadikan
bibit karena tidak mampu membelinya, justru diseret ke pengadilan, lalu divonis
1,5 bulan. Tidak sedikit pengadilan menjatuhkan hukuman hampir maksimum bagi
para pelaku pencuri kelas “teri”, yakni dari 6 bulan hingga 7 tahun,tetapi
mengapa seorang perampok 2.8 triliun hanya divonis 4 tahun. Namun, sadarkah
kita bahwa para hakim yang memutus perkara tersebut adalah hakim yang berbeda.
Jika kita melihat lebih dalam, mereka dituntun paradigmanya masing-masing.
Sehingga tidak bisa kita menghujat hakim yang memutus bersalah Nenek Minah
tidak memiliki rasa kemanusiaan dan tidak adil hanya karena kita
membandingkannya dengan kasus lain yang sekali lagi, hakim pemutus perkara
tersebut bukanlah hakim yang sama dengan kasus Bank Century ataupun kasus hukum
lainnya.
Jika ditinjau dari sisi sosiologis
maka kasus ini adalah kasus yang tidak
layak untuk dilanjutkan dalam proses peradilan, walaupun kenyataannya perbuatan
nenek Minah telah memenuhi unsur melawan
hukum dalam pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman pidana penjara 5 tahun.
Secara kemasyarakatan buah kakao yang diambil oleh nenek Minah yang nilainya
tidak sebanding dengan proses peradilan yang dijalaninya. Seharusnya PT. RSA dan pihak kepolisian
berinisiatif untuk menyelesaikan masalah kecil seperti ini secara kekeluargaan,
tidak perlu dilanjutkan ke proses peradilan. Secara kemasyarakatan jika kasus
ini ditinjau secara mendalam maka kasus ini tidak memenuhi unsur keadilan dalam
masyarakat, Apalagi jika dibanding-bandingkan dengan kasus korupsi yang
terkesan prosesnya tebang pilih dan prosesnya terulur-ulur. Nenek minah
merupakan seseorang nenek tua yang tidak bisa membaca papan peringatan milik
PT. RSA dan juga dia tidak jadi mengambil kakao tersebut (mengembalikan kakao kepada mandor) serta juga telah
mengakui kesalahannya dan meminta maaf.
Pandangan masyarakat menyimpulkan bahwa unsur-unsur sosial tersebut
merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau
pihak penegak hukum untuk melanjutkan proses peradilan terhadap nenek Minah,
walaupun hakim memutuskan hukuman 1 bulan tanpa harus dikurung. Putusan hakim
tersebut menunjukkan bahwa perbuatan nenek Minah salah secara hukum, tapi
secara sosiologis hal tersebut tidak menunjukkan keadilan.
Kasus ini juga telah mencoreng asas
kemanfaatan karena biaya kerugian yang di derita oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) akibat
kehilangan 3 biji kakau tidak sebanding dengan besarnya biaya perkara dan
derita finansial yang di derita oleh nenek minah karena dirinya tidak mampu
berkerja selama proses perkara berlangsung,sedangkan nenek minah hanyalah
wanita tua yang berpenghasilan kecil.Selain itu besar kerugian yang diderita
oleh PT.Rumpun Sari Antan (RSA) juga tidak sebanding dengan dampak sosial yang
diderita oleh nenek Minah. Dalam hal ini aparat hukum terlalu berpatokan kepada
apa yang tertulis di dalam KUHP. Seharusnya dalam menangani perkara hukum ,
aparat tak hanya mengeja atau membaca teks KUHP. Aparat mestinya juga
menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya
mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya
bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani,
yang didapat adalah keadilan. Oleh karena itu sejak awal perkara seharusnya
polisi dapat melakukan diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama
penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian
perkara demi kepentingan umum.
PENUTUP
Penegakan Hukum merupakan proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum dilakukan
oleh petugas penegak hukum. Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, oleh karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah
dan bawah (kepolisian, kejaksaan, pengadilan). Terlepas dari adanya petugas
penegak hukum, juga diperlukan peningkatan kesadaran hukum yang dilakukan melalui
penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang
mantap.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinart Grafika, 2008.
Ishaq.
Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Mertokusumo,
Sudikno. Mengenal Hukum.
Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, 2010.
Saleh,
Roeslah. Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional. Jakarta:
Karya Dunia Pikir, 1986.
Soekanto,
Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali, 1980.
Utsman, Sabian.
Dasar-Dasar Sosiologi Hukum.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
[1] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 1980), 196.
[2] Sabian Utsman,
Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 373.
[3]Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Universitas
Atma Jaya: Yogyakarta, 2010), 207.
[4] Ishaq,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 245.
[5] Roeslah Saleh,
Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta: Karya Dunia
Pikir, 1986), 15.
[6] Zainuddin Ali,
Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinart Grafika, 2008),69-70.
Casino - Jeopardy Slot Review - JtmHub
ReplyDeleteCasino is 이천 출장안마 a new online 강원도 출장마사지 casino that was established in 2020 and is owned and 서산 출장샵 operated 포항 출장샵 by DaVinci Gaming. The casino offers over 100000 slots Rating: 5 · Review by Jeopardy Slot 김해 출장마사지